Kamis, 21 Februari 2013

Review Tulisan: Membaca Pelacur, membaca sebuah empati


Catatan ini berawal dari sebuah pertanyaan, bagaimana caranya agar bisa menulis sesuatu yang mempermainkan emosi pembaca. 

Ya. Sebagai seorang pembaca, saya juga sering menemui sebuah tulisan yang begitu mengaduk-aduk emosi pembaca. Seakan-akan kita hadir di tulisan tersebut dan menyaksikan kisah yang disajikan secara langsung. Dan sebagai seorang penulis pemula, saya sendiri juga ingin sekali bisa menghasilkan tulisan
seperti itu. Mungkin sama inginnya dengan penggemar film yang ingin menyaksikan film dalam bentuk 3D hingga film-film itu terasa benar-benar nyata (oot dulu yah: kemarin waktu saya jalan-jalan ke toko elektronik, saya melihat penawaran untuk televisi layar datar besar yang menyajikan teknologi 3D. Jadi, penonton harus memakai kacamata khusus. Luar biasa menariknya, apalagi ketika ada acara sepak bola, yang digilai oleh suami saya. Suami saya bilang, "seperti menonton di stadionnya langsung deh, De. Tertarik nggak buat beli ini?" dan saya dengan bodohnya hanya bilang, "Iya, itu karena kamu pakai kacamata khusus 3D, sedangkan aku kan tidak pakai kacamata itu. Nanti yang ada aku lari ke atas genteng dan sibuk benerin antena, karena menyangka antena televisi kita berubah arah.".. hehehe..:P).

Oke. Kembali ke topik semula. 

Lalu, bagaimana caranya agar tulisan kita bisa 'dalam', dan memerah emosi pembaca yang membaca tulisan kita? Mungkin, dengan cara kita menulis semua ide yang ada di kepala kita. Tapi setelah selesai menulis, cobalah untuk menempatkan diri sebagai pembaca yang sebelumnya tidak pernah membaca tulisan kita tersebut. 

nah.. nah.. bingung kan? hehehe.. . Sebenarnya yang saya mau katakan adalah, mencoba untuk berempati pada tokoh yang sedang kita tulis. 

Berikut ini saya punya tiga puisi dari tiga penulis luar biasa. Ketiganya membahas sebuah topik yang serupa, yaitu tentang Pelacur. Pada tahu kan pelacur itu siapa? Nah, ketiga penulis luar biasa ini, belum tentu juga pernah bertemu dengan seorang pelacur. Pun belum tentu juga pernah bersinggungan langsung dengan profesi seorang pelacur. Mungkin kata pelacur dalam kepala mereka mereka dapat dari pengetahuan membaca dan menonton berita saja. Selebihnya hanya imajinasi. Dan disinilah keluar-biasaan ketiga penulis ini ketika menempatkan diri sebagai pembaca. Dalam arti, mereka tahu dimana sela-sela emosi pembaca yang bisa diaduk sedemikian rupa hingga  bisa menerima imajinasi mereka tentang sosok pelacur menurut versi masing-masing.

Sekali lagi, tulisan ini saya buat dalam rangka saya pribadi juga sedang belajar agar bisa menulis sehebat para penulis di bawah ini. Saya pernah membandingkan, mana di antara ketiga penulis ini yang terasa benar-benar menghayati dan berempati pada tokoh imajinasi mereka, dan punya pendapat sendiri tentang kesan yang mereka berikan. Tidak tahu ya dengan pendapat kalian, sama apa tidak dengan pendapat saya.. hehehe. ya sudahlah.. nikmati sajiannya dan perhatikan cara imajinasi seseorang untuk menyelipkan sebuah empati terhadap tokoh yang mereka ciptakan.
------------------------------------------

Pelacur di mata penulis Pik Parwati:

Puisi tentang "Jiwa Yang Tersakiti" Diikutkan dalam lomba Fatamorgana Publisher
by Pik Parwati on Tuesday, 09 November 2010 at 13:50

Rintihan Pelacur
oleh Pik Parwati 

Aku terjaga
Sakit
Perih
Pedih
Tubuhku terpasung kemiskinan
Jiwaku dipenjara keinginan
Suara lengkuhan  mulai lenyap
Tawa palsu hilang sudah
Aku tertinggal disni
Terhempas oleh sisa nafsu.
-----------------------------

Sekarang,  Pelacur di mata penulis Faradhina Indzifara:

Subuh Seorang Pelacur
by Faradina Izdhihary on Friday, 12 February 2010 at 11:37

sebelum bedug subuh ditabuh perempuan itu memunguti remah tulangnya ia bersyukur masih tersisaseorang pelanggan melumatnya hingga lebur semalam 
perempuan yang dipanggil pelacur itumemilih sepi sebagai istanasejak selaput daranya direngut dengan paksa 

di bekas luka itu tuhan meniitip seorang bidadari yang mengajarkan padanya menentang dunia 
ketika padanya diminta lembar-lembar rupiah penebus susu dan bubur bayiperempuan itu sadar hanya punya vagina karenanya putrinya adadengannya ia akan menyuapinya

sebelum fajar rekah selalu ia tulis surat untuk tuhannya"kau tahu, darah dan hatiku tetap perawan meski lelaki yang menjamahku telah ribuan "

bila siang perempuan-perempuan berdiri di teras-teras dengan secangkis besar gosip dan rerasan menatapnya sambil memuntahkan sarapanperempuan itu membalas dengan ketulusan
adakah jaminan bagi istri-istri pendosayang memuja fitnah jadi kudapan? kau tahu, padaku tuhan memberi janjiseorang pelacur masuk surgasetelah memberi minum anjing yang dahaga 
sedang yang kusuapi anak manusia luka yang ditorehkan lelakimu saat perempuan seperti kalian lalai mengikat syahwatnya

-------------
Nah, sekarang tulisan lain lagi. Sungguh belum lengkap jika belum membaca essay tentang pelacur yang ditulis oleh ILham Mohidin berikut ini:

Pelacur Jalanan Mati Awal Maret
by Ilham Q Moehiddin on Thursday, 28 October 2010 at 17:55

Pelacur Jalanan Mati Awal Maret
(bias demokrasi)
Hujan rintik memanahi bumi Jakarta sore itu.
Sekelompok anak berlarian menawarkan payung pada penyeberang dan penunggu bis kota. Seketika kesibukan di emperan menyepi, khawatir rintik itu menjadi sederas hujan dua hari yang lalu.
Motik berjalan terburu buru dengan sepotong lembar koran menutupi kepalanya yang beruban. Tidak hirau belakang sandal jepit tipis mengangkat air ke roknya yang bau. Tidak dihiraunya juga cemoohan segerombolan pelajar di halte utara Istana Merdeka yang begitu angkuh dengan pagarnya, seolah tidak tahu ada hati yang sedang menangis terluka.

Motik menghapus titik hujan yang campur dengan keringatnya. Ia jongkok bisu menyalang mata mengawasi gerombolan pelajar tadi yang gencar mencemoohnya. Motik tahu mereka malu untuk menghampirinya. Karena dia bau. Karena dia begitu ringkih untuk tugas hariannya. Dia terlalu tua.
Bahkan mentari pun malu menyengatnya dengan sinar garang Tuhan. Seolah, mentari tahu, buat apa bagi Motik sinar itu, toh dia sudah muak menikmatinya tiap hari. Motik sadar dia sudah tidak laku di pasaran jalan jalan Jakarta.

“Mentari, mengapa malu padaku. Apa kau tidak mau lagi menyetubuhiku? Jangan nistakan tubuhku lagi. Dulu kau begitu memujanya, sekarang kau bahkan meludahi selangkanganku. Jangan…jangan sakiti aku.” Pelan tajam dia berujar, meratapi keangkuhan Mentari.

Kamu bau…aku muak…kamu bau…kamu bau…kamu bau… 
Mentari menyahuti rintihan Motik dengan koor panjangnya.

“Mengapa?”

Tapi, mentari membisu di relung awan awan. Jakarta pun bisu, seakan merasai kepedihan hati Motik atas penolakan Mentari. Sementara itu bis bis lalu lalang sibuk sendiri sendiri.

Bulan Februari, seribu sebilan ratus sembilan puluh lima, setahun yang lalu Motik tidak harus malu seperti sekarang ini. Waktu itu, dia belum terkena penyakit ‘kekelaminan’ politik orang orang gede. Bodoh betul Motik kenapa mau dicicipi oleh peradaban ‘kabinet’. Waktu pun juga yang mengubah arah arus peradaban republik yang sudah beranjak tua ini.

Begitu buruk, sebanding dengan aku yang bau, pikir Motik menasehati diri sendiri.
Kini, menjelang awal Maret, tahun ini Motik sangat lain. Ia bahkan tidak tersentuh tangan tangan malaikat penunggu republik. Ia ditolak bagai daging mentah seminggu yang lalu.

“Jangan…jangan sakiti tubuhku!” Motik merintih pilu seolah menahan sakit ketika seorang mencoba meraih tangannya.

Seharusnya dia gembira. Ada sejumput khawatir memancar dari sorot matanya. Ia bingung dengan polah orang orang yang sedikit sedikit berubah. Suatu ketika nyalang, ketika yang lain begitu lembut seakan semua dosa terampuni.

“Jangan sakiti tubuhku…hatiku. Aku yang malu dan bau, tidak mau semakin di ejek, dihindari. Biarkan aku sendiri. Pergi! Menjauh dari manisku, menjauh dari sorgaku. Aku tidak mau itu semua lagi. Aku mau pergi sejauh mungkin…jauh sekali. Mundur dari percaturan bumi yang terus membodohiku. Biar aku terima karma Tuhan. Tuhan tidak akan malu walau kuhampiri sedekat apapun. Pergi…! Biarkan aku sendiri!”
Motik memohon dengan bibir gemetar oleh dingin hujan sore itu.

Jakarta belum mau menyahuti Motik. Mungkin Jakarta masih harus berpikir seribu kali untuk langkahnya. Jakarta pun linglung harus terus diduduki dengan keangkuhan beton beton kualitas nomer lima. Jakarta belum mau membela Motik.

Motik belum mau hengkang dari tepukan tangan republik yang tidak pernah tidur dengan cobaan. Padahal, Motik begitu menyesali itu semua, harapannya untuk dibela seringkali membuncah menjadi teriakan histeris yang menyumbat nada nadi ekonomi konglomerat. Seharusnya Jakarta membelanya, bukan menyatroni hatinya, menamparnya hingga terjungkal ke pinggir pinggir jaman yang kejam.
Motik tahu itu semua adalah manis suatu ‘permainan’. Maka, dia tidak perlu nyeleneh untuk mengubah kodrat alam. Motik sadar dia terus diawasi. Waktu terus merambat di sela sela jemari kakinya.
Berturut turut menundurkan logika yang terkadang turut pula menyesatkan. Kasihan Motik, sejak hari itu dia tidak terlihat lagi di sepanjang jalan jalan Jakarta. Jakarta bahkan melupakannya. Jakarta bahkan, tidak tahu lagi hidup Motik.

Tubuhnya terbaring kering di gardus yang basah air hujan. Awan menangis. Jakarta menyesal. Mentari malu untuk ingkar dari kata hatinya. Mentari tetap angkuh.

Motik mati.
Mati dengan luka hati yang dia bawa bawa dari bulan lalu.

Seiris senyum miris membekas pada wajahnya. Motik memang harus pergi. Dia sudah cukup senang karena Mentari pernah menyetubuhinya, pernah menjamahnya, pernah merasakan selangkangannya. Walau pun semua harus membayar murah untuk itu.

Sore itu, kembali rintik memanahi bumi tanpa Motik. Karena Motik sudah mati.
Gerombolan pelajar di halte utara Istana Merdeka ‘harus’ menyoraki Motik yang lain. Motik tidak perlu malu lagi, walau dia bau.

Jakarta, 19 Agustus 1996 
[cuplikan dari : Cerpen [IV], Bab II. Cerpen, Kitab & Tafsir Perawan]
--------------------
tulisan ini pernah ditayangkan di notes facebook ade anita pada tanggal 26 november 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa pendapatmu teman?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...