Kamis, 21 Februari 2013

Review Buku: C'est La Vie



judul :
Penulis: Fanny Hartanti
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama

Ini adalah novel yang bercerita tentang tiga orang perempuan yang bertemu di Belanda ketika mereka tanpa sengaja akhirnya menjadikan Belanda sebagai tanah air kedua mereka. Ada Ayu, perempuan sederhana yang amat kental dengan tipikal perempuan jawa yang sabar, nrimo, selalu memendam semua perasaannya, dan selalu berusaha untuk mengalah; ada Karina yang berasal dari Sumatra Barat tapi memiliki kepribadian yang hangat, ceplas ceplos dan spontanitas; serta Amara, gadis sunda yang cantik, anak orang berada dan tidak pernah kenal hidup susah, apalagi miskin (bertolak belakang dengan Ayu yang sejak kecil selalu hidup miskin dan pas-pasan). Ketiganya dipertemukan di Belanda karena mereka semua menikah dengan lelaki Belanda (kecuali Karina yang punya pacar orang Belanda dan berkarir di Belanda). Perbedaan yang kontras antara ketiganya, membuat dinamika persahabatan mereka menjadi kaya dan seru. Sering berantem, tapi tetap tidak bisa terpisahkan. Inilah persahabatan yang sebenarnya.
Untuk Ayu, hidup itu harus dijalani dengan sabar dan ndak neko-neko. Gadis ndeso asal desa kecil di Yogyakarta ini terbiasa hidup susah. Sampai suatu hari nasibnya berbalik 180 derajat. Dia menjadi seorang perempuan yang dinikahi oleh pria Belanda yang sukses, punya rumah yang besar dengan halaman yang juga luas, karir yang meningkat, dan bahkan dirinya yang dulu tidak pernah bisa menamatkan SMA nya, kini menguasai 4 bahasa sekaligus, bisa mengoperasikan komputer, pandai memasak aneka menu masakan dari berbagai negara.

Sedangkan Amara, hidup baginya adalah seperti a piece of cake. Dia cantik, cerdas dan punya segalanya. Dia bisa mendapatkan apa saja semudah menjentikkan tangan, kecuali satu hal: meraih cita-cita yang dia inginkan sejak kecil.

Sementara Karina, jenius yang selalu diperlakukan sebagai "otak berjalan" oleh teman-temannya, punya prinsip "hidup itu keras jenderal". Dia selalu menerapkan kerja keras untuk meraih apa saja yang dia inginkan, dan terkadang tanpa berpikir panjang dan tanpa memikirkan perasaan orang lain selain dirinya.
Kisah persahabatan mereka yang penuh dinamika, kisah dan seru serta konflik inilah yang menjadi bidikan utama novel ini. Karena adanya perbedaan yang mencolok antara ketiganya, tanpa terasa mereka bertiga akhirnya belajar tentang apa kehidupan itu sendiri. Ada banyak pelajaran yang mereka dapat dari semua peristiwa yang mereka lalui.

Dan berikut ini pelajaran hidup yang mereka dapat:

"Kayaknya kita sebagai perempuan memang selalu diajarin buat menyenangkan pihak lain. Jadi perempuan 'baik-baik. Atau seperti yang selalu dibilang Ayu: sabar dan ngalah, nrimo dan manut. Sebenarnya nggak salah juga sih ajaran seperti ini... cuma kadang itu membuat perempuan jadi terpenjara. Jadi ngak bisa melihat ke dalam dirinya sendiri. Mencari apa yang yang sebenarnya dia inginkan. Apa yang dia mau, apa yang dia idam-idamkan. Jadi... terjajah." (hal: 283)

"Maksud aku,... .... .... Banyak perempuan yang terlalu menggantungkan diri pada suami mereka. Baik secara finansial maupun moril. Saat suami mereka pergi, apakah itu dipanggil menghadap penciptaNya atau akibat perceraian, hidup mereka kacau balau."
"Ngomong apa sih? Nggak ngerti!"
"Makanya dengerin!" tukas Amara nggak sabar. "Intinya, kita sebagai perempuan harus siap dengan segala kemungkinan yang ada. Jangan mentang-mentang sudah punya suami atau anak lalu jadi kehilangan identitas diri sendiri..." (hal: 249)

"Aku nggak bisa ngebayangin kalau aku yang harus kehilangan kamu..." mataku mulai berkaca-kaca.
"Sstt..." .... "Jangan berpikir yang bukan-bukan...," ... "Kamu nggak akan kehilangan aku. Aku nggak akan pergi kemana-mana..."
"You never know, Wim.. you never know..."
"Kamu benar, sayang. Tidak ada yang tahu kapan tepatnya waktumu akan tiba. Terkadang semuanya terjadi begitu cepat dan mendadak."
"I know... dan aku benci itu! Kenapa sih harus ada kematian? Kenapa manusia yang saling mencintai dan membutuhkan harus dipisahkan oleh kematian...?"
"Karena dengan kematian kita jadi lebih menghargai hidup. Lebih menghayati peran dan keberadaan orang-orang di sekeliling kita yang kita sayangi..." (hal: 239-240)

"Oh, kamu habis dicela habis-habisan ya?"
Aku mengangguk. "Dia bilang masakanku menjijikkan. Lalu dia menyuruhku melupakan cita-citaku jadi koki. ..."
"Yah, Jan memang terkenal dengan sifat perfeksionisnya soal makanan dan kritikannya yang tanpa basa basi. Mungkin itu yang bikin dia jadi koki hebat..... lalu rencanamu apa?"
"Rencana apa? Aku tidak punya rencana apa-apa... . Toh aku sudah gagal."
"Oh, ya sudah kalau begitu..., ... kamu tidak pantas jadi koki karena gampang menyerah.."
"Loh, Jan kan sudah bilang aku gagal. Memangnya aku harus gimana lagi?"
"Coba lagi. Bahkan koki yang sukses pun harus berulang kali mencoba resep racikannya sampai sempurna...." (hal 194-195)

Itu taburan dialog yang aku suka dari novel ini. Dan novel ini memang bahasanya renyah sekali. Mengalir, saling padu dan plotnya rapi. Tiga perempuan di atas, diceritakan masing-masing di satu bab sendiri-sendiri dengan mengambil sudut pandang orang pertama. Meski demikian, kita akan merasakan bahwa ketiganya punya karakter yang berbeda-beda. Inilah kepiawaian dari penulis dalam hal ini. Dia bisa menyajikan tiga karakter yang berbeda dengan amat rapih tanpa tertukar atau tercampur karakter masing-masing tokohnya.

Jalan ceritanya juga sederhana, tidak rumit dan itu membuat pembaca jadi santai bacanya. Meski sederhana , tapi sekali kita membaca novel ini, kita jadi penasaran untuk mengikuti alur ceritanya hingga selesai. Dan asyiknya lagi, tata kalimatnya yang sederhana dan 'terasa hidup" membuat kita santai dan menyerahkan imajinasi kita untuk mengikuti imajinasi si penulis... itu sebabnya terkadang saya tersenyum sendiri, tapi di beberapa tempat saya bisa merasakan emosi yang kental hingga terbawa rasa haru.

Jadi, saya amat rekomendasikan novel ini. Bagus meski ini adalah novel ringan. Jujur, saya bahkan tidak melihat kelemahan dari novel ini.
============
Penulis: Ade Anita (september 2012)

1 komentar:

jadi, apa pendapatmu teman?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...