Sabtu, 23 Maret 2013

Predator Nomor Wahid Di Dunia


Siapa yang pernah melihat film dokumenter yang dikeluarkan oleh National Geografik Discovery Channel yang berjudul "Predator ON Earth" ? Dalam tayangan tersebut, ada banyak sekali bintang yang menyeramkan ditampilkan dimana sistem pertahanan mereka adalah dengan menyerang makhluk hidup lain dan makanan mereka adalah makhluk hidup lain yang punya daging. Ada banyak binatang yang ditampilkan.


Mulai dari yang sangat biasa dan sangat umum dan siapapun mengakui bahwa mereka adalah makhluk yang menyeramkan dan harus dihindari seperti Harimau, Singa, Ular, Buaya, hingga yang tidak umum (dan bagi saya yang awam, sempat takjub dan tak percaya). Seperti ulat kecil sebesar beras rojo lele berwarna putih yang tinggal di sela-sela pecahan lantai tanah. Ulat kecil ini ada di daerah Afrika sana, dimana penduduk memang kebanyakan rumahnya masih beralaskan tanah. Malam hari, ketika penduduk tertidur lelap, makhluk kecil dan imut ini keluar dari sela-sela retakan lantai tanah, merayap tubuh manusia (yang memang tidur di atas tikar atau lembaran kulit yang disamak, tanpa tempat tidur) naik ke arah kepala. Karena mereka tidak punya kaki, maka sebagaimana ulat pada umumnya, mereka menggunakan gerakan peristaltik perut mereka untuk berjalan maju, terus mengikuti aliran karbon dioksida yang dihasilkan oleh lubang hidung dan :  HOOOOP!!! Mereka masuk ke dalam lubang hidung manusia. Terus masuk dan mulai menghisap darah yang berasal dari daging lembut di dalam lubang hidung tersebut. Setelah cukup gemuk, hingga tubuh lonjong mungil mereka menggembung membulat, mereka mulai menggelindingkan diri keluar dari lubang hidung dan terus menggelinding hingga masuk kembali ke dalam sela-sela retakan lantai tanah. Kenyang.

Seram yah?
Sejak saat itu aku menolak jika harus tidur hanya beralaskan tikar di atas tanah, apalagi yang ada retakannya. Ah. Rasanya lebih baik tidur sambil duduk deh (padahal sih sama saja yah, kan yang merayap tetap bisa merayap apapun posisi tidur kita). Angka kematian yang dihasilkan dari serangan para predator tersebut terhadap manusia memang banyak. Seperti di daerah A, ada satu orang yang meninggal karena diterkam Harimau dan dua luka-luka karena berkelahi melawan Harimau. Tapi kejadian penyerangan Harimau ini menyulut pemburuan Harimau besar-besaran oleh masyarakat sehingga Harimau yang mati karena manusia pun ternyata lebih banyak dari manusia yang dibunuh oleh Harimau. Begitu juga dengan kisah-kisah pembantaian manusia oleh Buaya, Singa, Ular, Macan tutul, Cheetah, dan sebagainya atau sebaliknya kisah pembantaian makhluk-makhluk ini oleh manusia. Selalu terjadi kondisi yang tidak berimbang. Artinya makhluk-makhluk ini memang menyeramkan tapi jika dilihat dari angka kematian maka sebenarnya jauh lebih menyeramkan makhluk yang bernama manusia.

Pada akhir seri film dokumenter "Predator" ini, dijelaskan bahwa pada dasarnya semua makhluk Carnivora yang ditayangkan ini menyerang manusia sebagai upaya terakhir mereka untuk mempertahankan diri. Pada awalnya, justru merekalah yang merasa diganggu oleh manusia. Daerah huni mereka dirambah dan terus dikurangi. Anak-anak dan teman-teman serta sanak keluarga mereka diambil secara paksa oleh manusia untuk dijadikan penghibur diri dan hiasan. Kulit mereka dijadikan tas atau jubah, tubuh mereka disayat untuk dimakan, gigi mereka diburu untuk dijadikan obat, darah mereka diminum karena dianggap berkhasiat dan anak-anak mereka dipertontonkan (dan kebanyakan manusia selalu menyangka bahwa tangis kerinduan sang bayi Predator untuk bertemu dengan orang tuanya adalah sebuah kejenakaan yang imut-imut), kepala mereka dijadikan pajangan rumah dan sebagainya. Pendeknya, mereka menyerang sebenarnya karena mereka ingin mempertahankan keberadaan mereka di muka bumi ini.

Makhluk-makhluk ganas ini, hanya dikaruniai naluri dan instring bertahan hidup. Sedangkan manusia selain dikaruniai keduanya juga diberi akal, pikiran dan ambisi. Karena ambisi ingin mengalahkan alam raya, maka kelestarian lingkungan dilanggar. Karena ambisi ingin menunjukkan kehebatan diri maka hak makhluk lain direbut. Dan karena ambisi ingin diakui keberadaannya maka mereka membutakan hati nurani mereka terhadap lingkungan sekitar. Tak jarang, semua ambisi yang dimiliki oleh manusia ini membuat mereka menjadi tirani bagi keluarganya sendiri. Istri, anak, ayah, ibu dan sanak keluarga dikorbankan demi kejayaan diri sendiri. Itu yang membuat hati saya bergetar ketika di akhir tayangan tersebut, ada sebuah pertanyaan yang menggantung, siapa sebenarnya Predator nomor wahid di dunia ini?

Hmm.
Ada hal lain yang juga baru bagi saya dari tayangan film dokumenter tersebut. Di antara makhluk-makhluk ganas dan memang menyeramkan tersebut, terselip satu makhluk yang sebelumnya terlewatkan begitu saja dari pikiran saya bahwa sebenarnya makhluk tersebut juga masuk dalam kelompok Predator. Makhluk yang satu ini bernama Nyamuk. Nyamuk adalah binatang yang sangat biasa ditemui di daerah Tropis seperti Indonesia. Begitu biasanya hingga keberadaannya tak lagi menyeramkan. Kalau ada nyamuk otomatis tangan kita akan menepoknya. Dulu waktu saya kecil, bahkan saya sempat senang bermain "Tepok Nyamuk". Iklan racun nyamuk pun berseliweran di media massa kita. Mulai dari yang sangat garing sampai yang sangat kreatif. Pendeknya keberadaan Nyamuk di sekitar kita sudah dianggap sangat biasa oleh masyarakat hingga tak ada yang ingat bahwa Nyamuk sebenarnya adalah Predator yang paling banyak memakan korban jiwa dibanding jejeran predator-predatorhewan lain di muka bumi ini.

Saat ini di Indonesia, berjangkit deman berdarah dengue. Yaitu penyakit demam berdarah yang disebabkan oleh nyamuk Aedes Aegypti. Berbagai media pekan-pekan terakhir ini senantiasa menayangkan berbagai liputan seputar wabah DBD. Penyakit demam berdarah dengue (DBD) pertama kali ditemukan di Manila, Filipina pada tahun 1953. Di Indonesia, wabah penyakit yang ditularkan lwat gigitan nyamuk Aedes Aegypti ini pertama kali dilaporkan terjadi di Surabaya dan Jakarta pada tahun 1968. Saat itu 24 orang meninggal dunia. Tahun 1996 terjadi 45.548 kasus yang mengakibatkan 1234 orang meninggal. Penyakit yang mewabat dalam siklus lima tahunan ini meledak di Indonesia pada tahun 1998 dengan jumlah korban penderita sebanyak 72.133 yang mengakibatkan 1414 orang meninggal. Wabah di tahun 2004 kali ini diperkirakan merupakan siklus lima tahunan DBD. Data Departemen Kesehatan (Depkes) menyebutkan, pada tahun 1999 terjadi 21.134 kasus, tahun 2000 terjadi 33.443 kasus, tahun 2001 terjadi 45.904 kasus, tahun 2002 terjadi 40.377 kasus, tahun 2003 terjadi 50.131 kasus dengan jumlah kematian mencapai 753 orang. Dan sampai dengan 24 Februari 2004 korban tewas di Indonesia telah mencapai 247 orang dengan jumlah penderita sebanyak 12.294 orang.

Selama sepekan terakhir ini, penyakit DBD dinyatakan kejadian luar biasa (KLB) oleh Menteri Kesehatan RI. Dengan kategori tersebut, maka penanganannya sudah sangat serius. Hingga akhir pekan lalu sudah 17 propinsi yang dibanjiri penderita DBD. Rasio resiko kematian akibat penyakit DBD bahkan sudah menyentuh angka 2 persen atau sekitar 1 orang meninggal dari 50 penderitanya.

Ada banyak faktor yang menyebabkan wabah DBD menyebabkan angka kematian dan korban penderitanya terus berkembang di Indonesia. Faktor utamanya adalah katerlambatan pasien mencari pertolongan medis. Selain itu juga ada faktor salah diagnosis dari tenaga medis, lingkungan yang semakin buruk dan kurangnya animo intervensi masyarakat mengenai upaya memerangi nyamuk di lingkungan sekitarnya. Adanya kelambanan, baik dari sisi pemerintah maupun masyarakat menyebabkan masalah wabah DBD tidak pernah dapat diberantas.

Semua ahli kesehatan di negeri ini tahu bahwa sebenarnya belum ada obat bagi penyekit DBD ini kecuali dengan tindakan pencegahan renjatan (shock prevention atau penggantian cairan dan trombosit yang hilang karena pendarahan. Juga belum ada antigen keempat jenis dengue (DEN-1, DEN-2, DEN-3, DEN-4) yang aman dan efektif untuk manusia. Maka, pemberantasan DBD yang paling efektif adalah memberantas vektor nyamuk yang sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Untuk mengatasi hal ini yang paling efektif dan efisien adalah pemberantasan sarang nyamuk dengan cara menguras, menutup tempat penyimpanan air dan menyingkirkan/mengubur barang bekas (3M).

Adapun proyek pengasapan yang dilakukan sebenarnya kurang begitu efektif disamping juga mahal harganya. Pengasapan hanya membunuh nyamik dewasa. Setelah tiga hari pengaruhnya hilang. Padahal, pemusnahan suatu spesies makhluk hidup hanya dapat dilakukan melalui pemusnahan habitatnya, bukan pemusnahan persatuan jenis spesies tersebut. Karena itu upaya pencegahan dan pemberantasan DBD sebaiknya difokuskan pada implementasi program 3M, peningkatan kemampuan petugas, serta peningkatan partisipasi masyarakat.

Ini ada sebuah informasi tambahan yang insya Allah berguna. Tahun 1901, Kuba dengan bantuan angkatan bersenjata Amerika Serikat berhasil membasmi penyakit demam kuning (yang juga ditularkan melalui nyamuk Aedes Aegypti) tanpa menggunakan insektisida, tetapi dengan hanya dengan cara membasmi sarang nyamuknya. Upaya ini merupakan keberhasilan pertama di dunia melawan penyakit yang ditularkan melalui nyamuk. Selain Kuba, Singapura tercatat pula sebagai negara yang berhasil memerangi nyamuk Aedes Aegypti dengan program pemberantasan sarang nyamuk melalui penyuluhan yang intensif dan informasi yang benar tentak penyamukan (entomologi) serta penegakan hukum yang tegas. Lewat Destruction of Desease Bearing Insect Act, di Singapura sejak 1966 dilakukan inspeksi jentik dari rumah ke rumah. Malaysia juga menerapkan undang-undang serupa sejak tahun 1975. Jadi kalau di rumah seseorang ditemukan jentik nyamuk, pemiliknya mendapat sanksi!!!

Di Indonesia belum ada undang-undang yang mengatur hal ini. Jadi, semua berpulang pada penegakan disiplin diri sendiri kita. Ayo terapkan 3M sekarang juga sebelum jatuh korban di rumah kita sendiri.

-------Jakarta, 1 Maret 2004

Penulis: Ade Anita  dari berbagai sumber media massa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa pendapatmu teman?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...