Kamis, 10 Oktober 2013

Perempuan Dalam Sajak

Jujur saja, saya tidak begitu mengerti tentang puisi. Tapi, meski tidak mengerti saya seorang penikmat puisi. Tidak pernah bisa membuat puisi jadi selalu kagum jika ada seseorang yang bisa dengan mudah merangkai kata-kata singkat satu demi satu hingga menjadi sebuah kalimat yang cantik. Itulah puisi dalam persepsi saya. 
Maman S. Mahayana, pengajar Fakultas Ilmu Budaya di Universitas Indonesia sekaligus dosen tamu di Hankuk University of Foreign Studies, Seoul, memberikan kata pengantar dalam buku antologi puisi "Perempuan Dalam Sajak" kali ini dan menurut saya kata pengantarnya ini benar sekali.

Sejarah sastra Indonesia selalu mencatat: bannyak penulis puisi tetap sedikit yang kemudian menjadi penyair. Dan ke-9 perempuan yang puisi-puisinya terhimpun dalam buku ini, termasuklah dari yang sedikit itu. Jadi, siapa pun dengan profesi apa pun, berhak menjadi penyair ketika puisi-puisinya  menunjukkan kualitas yang membanggakan. Dengan begini, perpuisian Indonesia tidak hanya makin kaya dengan beragam tema dan pengucapan, tetapi juga begitu berbagai latar belakang sosilogis kepenyairannya. 
Hal yang menarik juga adalah pernyataan dari editor buku ini yang juga dikenal sebagai penyair: Kurniawan Junaedhi. Dia bilang:

Menulis puisi memang gampang. Tapi menulis puisi yang bagus dan mengesankan, jelas tidak bisa serampangan, dan bukan sekadar seperti, misalnya, menulis status puitis di fesbuk....Pada beberapa penyair (maksudnya ke 9 penyair dalam buku ini, ket), mulai terasa ada keberanian untuk bermain imaji, dan simbol, serta menyajikan majas dan metafor-metafor yang menggoda. Mereka juga tampaknya mulai menyadari, puisi bukan lagi sekedar menderetkan kata-kata puitis, tetapi  mulai ada kesadaran untuk memberi 'isi' pada imaji, termasuk pada kata; sehingga kata-kata tidak lagi telanjang seperti apa adanya. karena hemat saya, puisi yang baik memang tak sekadar memberikan sekadar kenikmatan kata, tetapi juga sebaiknya kenikmatan makna. 

Ada 9 perempuan dalam buku antologi ini, mereka adalah: Faradina Izdhihary, Helga worotitjan, Kwek LI Na, Nona Muchtar, Shinta Miranda, Susy Ayu, Pratiwi Setyaningrum, Tina K dan Weni Suryandari. Sekarang, mari kita lihat apa yang dimaksud oleh Kurniawan Junaedhi dengan kenikmatan kata dan kenikmatan makna dalam buku antologi puisi ini.

Rumah Di Tubuhku (Weni Suryandari, guru bahasa inggris, ibu dari tiga anak)
Rumah di tubuhku, tempat lelaki pulang,
sembunyi di ranjang,
tempat anak-anakku memanggil, menggigil
meski hujan menyapa ramah
Lalu rumah itu menyusut dalam lipatan kusam kenangan
dan lelaki itu tetap pulang, berbaring
memintal angan
dan anak-anakku tetap memanggil
di halau lapar
Rumah di tubuhku kini bocor berantakan
lelaki itu masih menuai angan di ranjang...
-----------------
Cinta Perempuan Setengah Baya pada Kekasihnbya Yang Lebih Muda (Tina K, bekerja di sebuah lembaga PBB)

Mengapakah cinta jadi terlarang
padahal semestinya cinta itu milik semua?
Mengapakan cinta jadi tersembunyi
padahal semestinya cinta itu terang seperti matahari?
Mengapakan cinta jadi milik mereka,
padahal semestinya cinta itu kepunyaan kita?
Mengapakah, lalu, air mata,
jadi bagian kita?

-------------------
Tulang Rusuk ( Shinta Miranda, ibu tiga anak dan nenek tiga cucu, bekerja di pelayanan rohani)
Haruskan kuberterimakasih
atas diriku yang jadi pendampingmu
karena katanya istri adalah penolong
bagi suami yang telah memberi tulang rusuknya
Pernahkan hai engkau lelaki
kehilangan tulang rusukmu dan mencari
lalu mendapatkannya kembali
dari seorang perempuan yang bernama istri
Pernahkan aku yang perempuan
merasa tulang rusuk yang ada padaku
menusuk-nusuk dan menjadikan dagingku busuk
oleh perbuatan buruk lelaki yang bernama suami
Lalu ketika aku dan kau berpisah bercerai
kemana tulang rusuk yang ada padaku
kau pasti tidak akan mengurainya di sebuah gerai
tulang rusuk siapa yang kini melekat padaku?
-----------------
Dari tiga contoh puisi di atas, rasanya saya jadi sepakat dengan apa yang ditulis oleh editor buku ini, Kurniawan Junaedhi yang mengatakan bahwa para penyair yang kebetulan perempuan dalma buku ini, tidak memerankan stereotype perempuan sumeleh yang menerima nasib, tetapi justru mencoba menggugah kesadaran bersama terhadap -katakanlah- wacara tentang kesetaraan gender, feminisme, dan relasinya yang berhubungan dengan norma dan kehidupan sosial mereka. Bahkan mereka seakan mencoba menggugat hak, kedudukan, dan cara pandang terhadap perempuan. Sehingga tampaknya kita sebagai pembaca diajak menangkap substansi keperempuannya lebih dari sekedar yang bersifat fisik melainkan lebih pada kepribadiannya. 

Nih, ini sekali lagi beberapa contoh puisi yang membuat saya sepakat dengan pernyataan Kurniawan Junaedhi di atas.

Kini Aku Mengerti (Faradina Idzihary, guru bahasa Indonesia)

Berpuluh tahun lalu
suka aku membantah nasihatmu
mengumbar amarah di belakang punggungmu
sehabis mendengar amarahmu atas kenakalanku
kenapa tak boleh begini, tak boleh begitu?

hampir tengah malam
anak lelakiku belum juga lelap
ia seperti jari jemari
membuka diary
yang suka dibacakan ibu dalam ceritanbya
tentang masa kecilku
betapa sering larut malam aku masih terjaga
meminta ibu mendongeng dan bersenandung
tentang cinderella

ibu juga mengulang-ulang
betapa aku paling suka memanjat
pohon jambu dan kepala gading depan rumah
sepulang sekolah
ketika hari gerah

si kecil mengapa seperti tokoh aku dalam cerita ibu?

ia juga membuatku belajar menerima
saat ia berak dan kencing di celana
meski kantuk mesra mendekap mata
ia juga membuatku gelisah
jika marah-marah
ah, semoga ia sabar seperti neneknya
bukan seperti aku

bel berdentang satu kali
tiba-tiba pada ibu aku rindu sekali

Ibu, ajari aku sabar seperti engkau
menghadapi kenakalan kami anak-anakmu
--------------------------

Perempuan Matahari (Helga Worotitjan, sebelum menekuni dunia perpuisian menekuni dunia pemasaran dan penjualan di berbagai perusahaan selama 14 tahun)
Aku matahari
selalu ada dan berbagi sinar
selalu memburai hangat dan melelehkan musim beku
entah mengapa
juga menyengat lalu membuat mati
---------------
Mengingatmu Seperti Seharusnya (Kwek Li Na, ibu dari 2 anak, tinggal di Taiwan)

Aku masih mengingatmu
Seperti seharusnya
Tapi harapan sedikit kulipat

Aku sadar
Tak selamanya malam itu purnama
Cintamu lindap. Entah memencari ke mana?

Kukecup bibirmu
Tak kunikmati lagi getar rindu
Hati, tiba-tiba saja basah dihujani gelisah yang kaku

Kutatap matamu
Kosong
Tak ada lagi aku di situ

--------------------

Perjumpaan Yang Tiada (Nona Muchtar, ibu rumah tangga, pemilik CV NN Karinko)

Dalam sebuah kesunyian,
kita adalah sepasang kekasih
memutari waktu dengan sekelumit rindu
juga duka yang kian lapuk memakan hatiku
ketika satu satu kekecewaan memutari
kita seperti jarum jam

aku mencintaimu
seberat cinta itu sendiri memberi kekuasaan
kepada kita untuk memilih
namun seperti jalannya cint aitu menuju keabadiannya,
kau bahkan tak lekas menangkup rinduku
sebagaimana cinta itu adalah kau dan aku

lalu aku mengingatmu dengan sejuta kepedihan
karena ketika memikirkanmu,
aku tak bisa menahan benakku untuk melupakanmu
sedang kita adalah keinginan itu sendiri,
untuk tiap perjumpaan yang tiada

-------------------------

(Sudah) Lewat (Pratiwi Setyaningrum, Legal Officer)

Setelah
langit runtuh di kepala

Setelah kurasakan api tamak nan mencandai dunia

Setelah ular ular dengki menusukkan racunnya

ehee..
menangis?
Nonton film Korea dulu baru bisa
---------------

Hehehe.. unik-unik kan puisi para penyair perempuan di atas.


Judul :Perempuan dalam Sajak
Penulis:
- Faradhina Izdhihary
- Kwek Li Na
- Nona Muchtar
- Shinta Miranda
- Susy Ayu
- Pratiwi Setyaningrum
- Tina K
- Weni Suryandari
Penerbit: Kosa kata Kita
Tahun Terbit: 2010


3 komentar:

  1. Keren2 puisinya, gak hny puitis tp jg dalemm ...

    BalasHapus
  2. Waaaah itu kutulis saat aku lagi gila+gilanya menulis puisi. Jadi kangen sama ke 8 penyair lainnya di buku ini. Makasih ya Mbak Ade.

    BalasHapus
  3. apalagi aku mbak, sama sekali tidak mengerti tentang puisi

    BalasHapus

jadi, apa pendapatmu teman?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...