Sabtu, 15 Februari 2014

#Resensi X1: Gadis Charleston, Gadis di era 20-an

Pernah mendengar sebuah nasehat yang memberitahu kalian bahwa kalian harus mendengar suara yang ada di dalam dirimu sendiri? Sesuatu yang disebut SUARA HATIMU SENDIRI?  Nah, jika kalian termasuk yang sering diberi nasehat seperti ini, ini ada sebuah nasehat baru yang mungkin keluar dari mainstream. "Jangan selalu mendengar suara hatimu sendiri. jika tidak yakin bahwa itu benar-benar suara hatimu."




Ini novel Sophie Kinsela yang aku baca ulang tahun ini karena ketika membersihkan lemari buku tiba-tiba aku menemukan novel ini terselip di belakang tumpukan buku-bukuku. Aku suka dengan tulisannya Sophie Kinsela, jadi selesai bersih-bersih buku, aku segera membaca ulang novel ini dan kesan pertama yang aku dapatkan setelah menamatkannya tetap sama seperti kesan yang aku dapatkan ketika membaca novel ini dua tahun yang lalu. "Aku suka dengan gaya bercerita Sophie Kinsela." Imajinasinya lincah, ceritanya santai, daya khayalnya sederhana tapi lompatan khayalannya benar-benar tidak biasa. Dia gemar menyelipkan calon-calon bibit konflik di beberapa tempat yang tampaknya tidak  penting dan cenderuung dilupakan orang setelah membacanya. Itu sebabnya bisa dikatakan meski cerita dalam novelnya terkesan ringan dan nyeleneh, tapi sebenarnya itu sebuah plot yang sudah benar-benar dia rencanakan akan seperti apa runtut ceritanya kelak dan bagaimana ending ceritanya.

Dalam novelnya kali ini, Sophie Kinsela bercerita tentang seorang gadis yang secara independent bekerja sebagai seorang pemburu kepala pemasaran. Hmm... itu loh; kalian tahu kan. Dalam perusahaan, maka bagian marketing adalah bagian terpenting dari perusahaan tersebut karena di tangan bagian marketinglah produk dari perusahaan tersebut bisa sampai ke tangan para konsumen. Sebagus apapun sebuah produk, jika tidak dipasarkan dengan baik maka produk tersebut bakalan membusuk di pasaran. Nah, tugas bagian pemasaranlah untuk membuat produk yang biasa ini menjadi terlihat luar biasa dan akhirnya diburu orang. Itu sebabnya banyak perusahaan yang berusaha keras untuk mendapatkan seorang manajer pemasaran yang "berbakat dan berpengalaman". Tapi, dari berjuta-juta orang di muka bumi ini, bagaimana mendapatkan manajer pemasaran yang OKE tersebut? Disinilah profesi Pemburu SDM dibutuhkan. Di Indonesia, mungkin dikenal dengan istilah "Pembajak Manajer" (dan keberhasilan para pembajak ini yang sering bikin manyun banyak perusahaan yang sudah capek-capek membiayai si manajer untuk mengambil training, ikut pelatihan, disekolahin tinggi-tinggi, eh, begitu dah jadi, dibajak perusahaan lain. Ngenes ya).

Lara Lingthon, tokoh utama perempuan di novel Twenties Girl ini adalah seorang pemburu SDM. Ini profesi yang berbeda dengan biro penempatan kerja. Karena yang diburu oleh Lara hanyalah para direktur yang masih bekerja, berprestasi di kantor tempat dia bekerja saat ini, dan tentu saja punya bakat dan kemampuan yang luar biasa. Lara tidak pernah melirik para direktur atau manajer yang baru saja di-PHK dan sedang keluar masuk mencari pekerjaan baru. Atau melirik para Fresh Graduate. Bukan pekerjaan yang mudah kan? Karena itu artinya, Lara harus pandai meyakinkan si direktur atau manajer itu agar mereka bersedia melakukan adegan kutu loncat ke perusahaan lain yang mampu memberi mereka gaji yang lebih tinggi "sedikit" tapi jaminan sebuah tantangan baru (oh ya, percaya deh padaku. Pada orang-orang tertentu yang sudah merasakan asam garam kesuksesan; maka yang mereka butuhkan bukan lagi sebuah tambahan materi, tapi sebuah tantangan baru dan perhitungan materi menjadi perkara nomor dua bagi mereka karenanya). Tentu saja apa yang dikerjakan oleh Lara ini tidak mudah. Apalagi dia melakukan itu setelah sahabatnya, yang mengajaknya untuk membuka perusahaan Pemburu SDM ini ternyata malah pergi meninggalkannya untuk berpetulangan ke negeri antah berantah dan meninggalkan Lara seorang diri dengan setumpuk pekerjaan yang belum selesai dan kondisi keuangan perusahaan yang memprihatinkan.

Masalah Lara bertambah ketika tiba-tiba saja neneknya, Sadie, yang baru meninggal ternyata menampakkan arwahnya di depan Lara dan memberitahu sesuatu yang sulit sekali dipercaya. Dan bahkan Sadie muncul di menit terakhir sebelum mayatnya dikremasi.

"Tidaaaak!" terdengar lolongan menyayat hati. "Tidaaak! Hentikan! Kalian harus berhenti!"
Ngerinya, gadis itu berlari naik ke atas penyangga lalu mulai berusaha mendorong peti mati itu kembali ke luar. Namun, lengannya tidak berfungsi; lengannya terus terbenam ke dalam peti.
"Kumohon!" Dia mendongak sambil memandangiku dengan putus asa. "Jangan biarkan mereka!" (hal 47)

Tentu saja Lara menjadi  bingung. Tapi, akhirnya Lara bersedia membantu Sadie.

""Aku serius! Ada alasan dan halangan yang kuat mengapa peti mati ini tidak bisa... dipanggang. Kalian  harus berhenti! Sekarang!" Aku bergegas menyusuri lorong. "Tekan tombol itu atau aku akan melakukannya sendiri!"
Tampak kebingungan, sang pendeta menekan tombol itu lagi, lalu peti mati itu berhenti. (hal 47)

Sebenarnya, ada apa sih hingga Sadie belum mau dikremasi? Jika sudah meninggal kan ya pasrah saja ya. hehehe. Tapi inilah inti konflik dari novel ini. Ada alasan utama mengapa Sadie belum mau dikremasi dan sengaja memunculkan diri di hadapan Lara; Sadie ingin meminta bantuan Lara untuk menyelesaikan urusannya di dunia ini yang belum selesai.

What? This is a horor story?
heheheh.... Kayaknya sih Sophie Kinsela yang selalu ceria gaya menulisnya itu belum ingin menulis cerita horor. Ini novel yang manis sekali. Entah karena aku yang memang sudah jatuh cinta duluan dengan gaya berceritanya Sophie Kinsela atau memang novel ini keren, menurutku ini novel yang keren banget.

Ketegangan yang dibuat tetap terselip di dalamnya kisah-kisah yang manis dan kadang lucu. Ada sisi tidak masuk akalnya tapi... aku sudah melupakannya dengan amat cepat dan begitu menikmati cerita ini. Dan aku gak bakalan nyeritain sinopsis lengkap-lengkap karena justru menurutku sisi menarik dari novel ini adalah, ada clue-clue tersamar yang disematkan oleh Kinsela di tengah-tengah ceritanya. Dan clue-clue tersamar ini asli bikin kita terkejut-kejut ketika mendapati bagaimana clue-clue tersamar tersebut bekerja untuk memperkaya cerita di novel ini (jujur; aku belajar banyak dari cara Sophie Kinsela menanam clue-clue ringan dan sepele dan tersamar di banyak tempat untuk pada waktu yang tepat nanti dimunculkan dan ternyata itu sesuatu yang luar biasa efeknya bagi klimak cerita).

Kelemahannya mungkin satu: Sophie Kinsela terlalu pemaaf dan baik hati jika memberi hukuman pada tokoh yang memerankan karakter antagonis di novelnya ini (ihh, kalau aku mah sudah aku tulis si tokoh bakalan menderita deh... hahahahha.... mengkhayal ini, kenapa harus kasihan pada si menyebalkan?. Ih, kejam lo De.)

Nah... kebetulan aku ketemu nih Trailer novel ini. Sengaja aku masang disini trailernya karena aku juga lagi belajar pingin bikin trailer seperti ini untuk novelku nanti. hehehehe.

Okeh. Silahkan baca novel dari penulis kesayanganku ini ya.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa pendapatmu teman?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...