Resensi Film: Grave of the Fireflies (film animasi, tahun
1988)
Pemain: Seita, Setsuko dan beberapa pemain figuran lain. Ini
film animasi untuk semua umur.
Sutradara: Isao Takahata
Film
ini sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa dan mendapatkan berbagai macam pujian dan memenangkan berbagai macam penghargaan tingkat
Internasional. Tidak heran jika akhirnya
film ini diadaptasi ke berbagai versi,
termasuk versi manusia. Tapi, yang aku tonton ini versi asli film kartun
pertamanya.
Film ini bercerita tentang derita yang dialami seseorang
sebagai bagian dari perang yang berkecamuk dan dilakukan oleh negaranya. Adalah Jepang, yang menjadi tempat tinggal
dari bagi Seita, 14 tahun dan adiknya, Setsuko, 4 tahun. Awalnya keduanya hidup
bahagia bersama ibu mereka di kota Kobe Jepang. Ayah mereka adalah seorang
Kapten angkatan laut Jepang yang dikirim oleh Jepang untuk berperang melawan
tentara sekutu dalam Perang Dunia ke 2.
Kehidupan keluarga bahagia ini mendadak berubah ketika suatu
hari, armada perang Amerika Serikat menjatuhkan bom udara B-29
pembom Superfortress di atas kota Kobe dan itu membuat ibunda kedua kaka
beradik ini terkena bom ketika berlindung di kantor pemadam kebakaran. Di rumah
sakit, ibu mereka akhirnya meninggal dunia. Untuk seterusnya, karena ibunda
sudah meninggal dunia dan rumah sudah hancur, akhirnya mereka menumpang tinggal
di rumah bibi mereka. Sayangnya, perangai si bibi ini sama sekali tidak
mengenakkan.
Bibi: "Tentang kimono milik ibumu. Aku pikir, ibumu
sudah tidak memerlukannya lagi sekarang. Bagaimana jika kimono itu dijual saja,
dengan begitu kita bisa membeli makanan yang enak."
Seita: "Kimono ibuku? Oh."
Setsuko: "Tidak. Kakak, kau jangan menjual kimono
ibu kita. Jangan kak. Jangan."
Bibi: "Ibumu sudah tidak memakainya lagi sekarang.
Dia juga pasti tidak keberatan jika kimononya dijual untuk dibelikan makanan
untuk anak-anaknya."
Setsuko: "Tidak..tidak...tidak... itu punya
ibuku... itu punya ibuku."
Setsuko lalu menangis terus hingga tiba waktu makan
malam tiba. Setsuko yang marah, terus cemberut sambil menatap nasi yang akan
masuk ke dalam mulutnya, nasi yang dibeli dari menjual satu-satunya peninggalan
ibunya yang telah meninggal dunia. Sekarang, satu-satunya kenangan dari ibunda tercinta hanyalah kenangan yang ada dalam bayangan saja.
Tapi, rupanya Bibi mereka, seiring dengan kondisi perang
yang membuat kian sulit mendapatkan makanan, kian lama kian pelit dan mulai
memfitnah kedua kakak beradik ini sebagai orang yang paling banyak menghabiskan
makanan di rumahnya. Juga terganggu karena Setsuko sering menangis malam-malam sambil mengigau memanggil ibunya.
"Kamu tahu kan, saudara-saudaramu bekerja seharian jadi jika malam hari perlu istirahat. Tapi adikmu terus saja menangis. Ajarkan adikmu agar tidak menangis, ini sudah suara sirine di luar terus berbunyi, ditambah adikmu yang terus menangis, kapan aku bisa istirahat?"
Karena tidak tahan dengan perlakuan bibinya ini, akhirnya
Seita dan Setsuko pun memutuskan untuk pergi dari rumah bibinya tersebut. Lalu
tinggal di rumah penampungan.
Seharusnya, rumah penampungan bagi para pengungsi itu
kan menyediakan makanan, perlindungan (shelter) tapi dalam kondisi perang tentu
saja semua persediaan makanan harus digunakan secara cermat. Maka keluarlah
peraturan baru bahwa makanan dan tempat tinggal hanya diberikan pada mereka
yang berdomisili di tempat penampungan itu berada saja. Nah. Disinilah kedua
kakak beradik ini mulai menemuukan kesulitan. Mereka sudah mengungsi jauh dari
rumah mereka yang hancur dan mereka sekarang sudah tidak punya siapa-siapa
lagi. Dalam keadaan terlunta-lunta, mereka menemukan sebuah lubang tempat
berlindung dari serangan udara (berupa gua yang dibuat di gunung) yang telah
ditelantarkan oleh pemiliknya. Mereka berdua pun memutuskan untuk tinggal
disini. Lalu mulai mencari rezeki untuk mengatasi rasa lapar. Tapi, ternyata
urusan mengatasi rasa lapar ini bukanlah persoalan mudah. Ini masa perang
dimana semua orang berubah menjadi amat egois untuk sekedar berbagi karena
kepemilikian memang menjadi amat terbatas jumlahnya untuk bisa dibagi lagi. Kedua
kakak beradik inipun mulai kelaparan. Akhirnya, mereka pun menemukan sebuah
lubang perlindungan yang telah ditelantarkan oleh pemiliknya. Ini semacam
lubang yang dibuat di kaki bukit, mirip gua. Tanpa listrik, tanpa penyekat
ruangan, tanpa WC. Mereka berdua dengan riang membagi ruangan berdasarkan
khayalan mereka.
"Jika begitu, dapurnya disini saja kak. Dan ini
tempat tidur kita."
Jika malam hari, karena tidak ada listrik dan cahaya
apapun, keadaan amat gelap gulita di dalam gua.
Setsuko: "Nii Chan (artinya kakak), aku
takut."
Seita: "Tidak apa-apa dik, ada aku di sisimu."
Setsuko: "Tapi gelap sekali. Aku takut. Aku juga
ingin pipis."
Seita lalu membopong adik kecilnya yang imut, lucu,
sehat dan manis ini ke luar untuk buang air. Setelah itu kembali mengantar
adiknya masuk ke dalam gua.
Seita: "Dik, tunggu disini dulu sebentar ya.
Sekarang, gantian kakak yang ingin buang air."
Setsuko: "Jangan lama-lama kak, aku takut sendirian
di dalam gelap."
Tak lama kemudian, Seita sudah kembali sambil membawa
sesuatu di tangannya.
Seita: "Dik, coba tebak apa yang ada di tangan
kakak." Seita lalu membuka tangannya dan tampaklah kunang-kunang. Cahaya
berpendar dari tubuh kunang-kunang menerangi ruangan gua yang gelap gulita.
Seita: "Ini adalah pasukan spesial."
Setsuko: "Oh, Nii Chan, aku jadi bisa melihatmu
lagi karena kunang-kunang ini." Setsuko senang, karena dia jadi bisa
menatap kakaknya lagi dalam gelap.
Seita: "Ya, dan aku juga bisa melihatmu."
Seita lalu meletakkan kunang-kunang itu di atas rambut adik tersayangnya.
Rambut Setsuko langsung bersinar. Setsuko senang sekali, dan merasa bahwa dia
jadi seperti putri yang memiliki cahaya kecantikan yang sempurna.
Seita: "Ayo kita tangkap kunang-kunang lagi."
Akhirnya mereka berdua pun menangkap kunang-kunang seember penuh dan melepasnya
di dalam gua. Gua yang semula gelap gulita dan menyeramkan pun jadi indah
sekali. Seakan-akan ada ratusan bintang-bintang kecil yang bertaburan di langit
gua. Sepanjang malam mereka memandang taburan kunang-kunang tersebut sambil
bercerita tentang masa kecil mereka yang indah. Sesungguhnya, Seita amat sangat
kehilangan ibunya yang telah meninggal dan merasa rindu pada ayahnya yang pergi
berperang, tapi Seita tahu, dia tidak boleh menangis atau memperlihatkan
kesedihannya itu di depan adiknya yang masih kecil dan imut-imut tersebut.
Adiknya selalu mengigau karena rindu pada ibunya. Jika melihat kakaknya
bersedih pasti adiknya akan semakin merasa kehilangan. Itu sebabnya sambil
mengenang masa kecil dan sambil tertawa-tawa, diam-diam Seita menangis.
Besoknya, pulang dari bekerja serabutan agar bisa
mendapatkan makanan tapi ternyata tidak berhasil membawa pulang makanan, Seita
pulang dan mendapatkan adiknya sedang menguburkan sesuatu.
Seita: "Apa yang kau lakukan?"
Setsuko: "Aku menguburkan kunang-kunang. Ibu kita
juga dikubur seperti ini kan kak? Aku dengar dari bibi bahwa ibu kita juga
dikubur seperti ini."
Seita: "Iya, ibu kita dikubur di dalam tanah, di
bawah sebuah pohon. Apakah kamu ingat pohon itu dik? Suatu nanti, kita akan
mengunjungi kuburan ibu kita bersama ya."
Setsuko terdiam mendengar ajakan Seita kakaknya. Dia
terus saja menguburkan kunang-kunang. Lalu, tiba-tiba, Setsuko mengangkat
wajahnya yang imut dan manis itu dan menatap kakaknya dengan pandangan tanpa
dosanya.
"Nii Chan (artinya kakak), kenapa kunang-kunang mati di usia yang
masih muda?" Seita tidak bisa menjawab pertanyaan adiknya. Dia juga
bingung, kenapa kunang-kunang, yang keberadaannya menyenangkan hati siapa saja
yang melihatnya, memiliki takdir mati di usia muda?
Seita terus berusaha mencari makanan, bahkan terpaksa
mencuri dan menjarah rumah rumah penduduk yang ditinggalkan oleh pemiliknya
yang pergi mengungsi, lalu menjual hasil curiannya untuk mendapatkan uang.
Sayangnya uang tersebut tetap saja sulit dia dapat dan akibatnya dia pun sulit
membawa pulang makanan untuk adiknya.
Karena tidak berhasil mencari makanan, akhirnya, tubuh
mungil Setsuko pun menjadi kurus sekali. Dia menderita kondisi kurang gizi yang
parah. Akhirnya, suatu hari, ketika Seita mencairkan gaji yang harus diterima
oleh ayahnya, dia mendengar kabar bahwa ayahnya meninggal dunia karena kapal
perang yang dibawanya telah tenggelam dalam perang melawan sekutu. Dengan
kesedihan yang berusaha ditekannya, Seita pun pulang. Tapi, dia semakin kaget
karena ternyata adiknya sudah amat sangat lemah karena benar-benar menahan
lapar. Adiknya hanya mampu menelan secuil kecil semangka. Setelah itu tidak
pernah lagi membuka matanya.
Dengan kesedihan yang amat sangat karena sekarang,
seluruh anggota keluarganya telah habis, Seita pun menjual semua barang-barang
yang dia miliki untuk membeli peralatan guna membakar mayat adiknya. Semalaman
dan sepanjang hari selama hujan turun dengan deras di luar lubang perlindungan,
Seita memeluk mayat adiknya erat-erat karena dia tahu setelah dibakar nanti,
dia tidak akan pernah bisa melihat dan memeluk atau menyentuh adik
kesayangannya tersebut. Kenangan tentang adiknya membayang. Bagaimana adiknya
bermain sendirian selama ini. Berlari mengejar kunang-kunang, bermain suten
dengan bayangannya sendiri yang terpantul di atas permukaan air danau, main
tentara-tentaraan dengan topi tentara yang kebesaran, atau sekedar merebahkan
kepalanya di atas pangkuannya sambil menatap ratusan kunang-kunang. Adik
tersayang dan satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa telah pergi untuk
selamanya. Adik yang lucu dan menggemaskan. Juga adik yang amat sangat sayang
pada dirinya. Adik yang bahkan lebih senang menahan lapar ketimbang harus
berpisah dengan kakaknya.
Cuplikan kenangan waktu Setsuko masih hidup:
Setsuko: "Aku tidak ingin apapun. Tetap disini saja
Kak. Jangan pergi, jangan pergi. Tolong, jangan pergi dan tinggalkan aku."
Seita: "Jangan khawatir Setsuko. Setelah aku
mengambil gaji ayah, aku akan membeli beras dan sesuatu yang bergizi agar kamu
bisa sehat lagi. Setelah itu, aku tidak akan pergi kemana-mana. Aku akan berada
di sisimu terus dan selamanya. Itu janjiku padamu, dik."
Akhirnya, setelah sehari semalam memeluk jasad adiknya,
Seita pun mulai menyiapkan pembakaran mayar adiknya seorang diri. Dia meletakkan mayat adiknya dalam kardus
bersama dengan semua barang kesayangan adiknya dan mulai membakarnya. Lalu
telentang di atas tanah dan menatap semua kepulan asap dan remah-remah bara
terbang ke angkasa dipermainkan angin malam, dan menari bersama dengan banyak
kunang-kunang. Setelah itu abu jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah kaleng
permen milik adiknya.
Pada tanggal 25 September 1945, di stasiun kereta api
Sannomiya, Kobe, seorang petugas kebersihan menemukan seorang bocah laki-laki
sedang meringkuk di atas kursi. Tubuhnya kurus dan lemah, meringkuk sambil
memeluk sebuah kaleng permen yang berisi abu jenazah.
"Bangun. Bangun. Kamu menyebabkan pemandangan yang
tidak sedap di stasiun ini. Ayo pergi."
Bocah itu membuka matanya dan menatap petugas kebersihan
tersebut.
"Tanggal berapa sekarang?"
"Kenapa kau bertanya tanggal berapa sekarang?"
"Ya, karena tanggal ini adalah tanggal dimana aku
akan mati."
Lalu ketika malam hari tiba, bocah itu, Seita, melihat
adiknya datang bersama dengan ribuan kunang-kunang. Mengajaknya untuk menari di
atas ribuan kunang-kunang yang membawa mereka menuju ke angkasa. Gembira sekali
rasanya. Tertawa-tawa bersama dengan adik tercintanya sambil menatap ke bawah,
ke kota Kobe, ke stasiun Sannomiya, dimana orang-orang menemukan seorang bocah
kurus kering yang meninggal dunia di atas bangku stasiun kereta api tersebut.
Kaleng berisi abu jenazahpun tampak tergeletak tak berdaya tak jauh dari mayat
kaku si bocah lelaki tersebut.
-----------------------------------
(HUAAAAAAHHH...Aku
pun menangis histeris. Dan makin menangis ketika suamiku berkata: "Waktu
nonton film ini pertama kali semalam sendirian waktu kamu sedang tidur, aku
ingat Hawna.. Di rumah sering main sendirian karena kakak-kakaknya belum pada pulang
sekolah. Itu sebabnya aku kesel kalau kamu sembarangan dengan pola makan
kamu lalu jatuh sakit. Kasihan Hawna jika terjadi sesuatu dengan dirimu. Dia
bisa benar-benar sendirian jika kamu kenapa-kenapa. Makanya De, jaga kesehatan
dong...."
hmm, gak penting ya bagian yang ini. Tapi jujur aku juga jadi ingat Hawna. Main sendirian tapi tahu masih ada orang di samping kita yang menemani itu jauh lebih baik ketimbang main sendirian dan benar-benar sendirian. Jadi ibu-ibu yang punya anak kecil, jaga kesehatan ya. Kasihan anak-anak kalian, anak-anak kita jika terjadi sesuatu dengan diri kita.)
hmm, gak penting ya bagian yang ini. Tapi jujur aku juga jadi ingat Hawna. Main sendirian tapi tahu masih ada orang di samping kita yang menemani itu jauh lebih baik ketimbang main sendirian dan benar-benar sendirian. Jadi ibu-ibu yang punya anak kecil, jaga kesehatan ya. Kasihan anak-anak kalian, anak-anak kita jika terjadi sesuatu dengan diri kita.)
Penulis: Ade Anita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
jadi, apa pendapatmu teman?