ini versi ade anita ya... jadi, mohon maaf jika ada banyak
kekurangannya karena kekurang pengalaman dan pengetahuannya.
Ada yang pernah mendengarkan lagunya Ayu Ting Ting yang
judulnya “Alamat Palsu” secara utuh belum? Lagu ini sekarang amat booming sekali.
Konon, pendapatan Ayu Ting Ting karena lagu ini meningkat jadi 2 (dua) milyar
rupiah sekarang. Wow. Luar biasa ya.
Padahal dulu, Ayu Ting Ting itu hanya
penyanyi dangdut keliling yang menyanyi dangdut dengan diiringi organ tunggal
saja. Lagunya, “alamat palsu” itu menurut pengamat musik sama sekali bukan
termasuk lagu yang masuk kategori “indah” atau “menjual” atau “bakalan abadi”
alias bakal berkesan lama di telinga pendengar. Komposisinya sederhana,
liriknya biasa saja, cengkok-cengkoknya juga nggak ada yang istimewa. Ini masih
menurut pengamat musik yang aku lihat di salah satu stasiun televisi yang
sedang membahas tentang fenomena lagu Ayu Ting Ting, “alamat palsu”.
Nah, kalau tidak ada yang istimewa, lalu kenapa lagu itu
bisa terkenal dan disukai banyak orang ya?
Lalu, ada fenomena yang juga luar biasa terjadi beberapa
tahun yang lalu, yaitu ketika bukunya Moammar MK yang judulnya “Jakarta Under
Cover” tiba-tiba menjadi amat terkenal. Saya termasuk orang yang ribut cari
pinjeman karena pingin baca buku ini loh (hehehe, emang dah niat dari awal,
nggak mau beli soalnya). Akhirnya saya berhasil mendapatkan pinjaman, dan
setelah baca isinya... waduh! Isinya biasa saja ternyata, mirip buku informasi
tentang tempat-tempat yang bisa dikunjungi untuk bisnis esek-esek. Kenapa saya
tulis buku informasi, karena memang isinya berupa informasi seperti kumpulan
brosur-brosur dan aneka katalog saja. Ih.... sepertinya, Moamma MK tuh dulu
diuntungkan karena Mbah Google masih belum eksis. Coba saja ketika sekarang buku
sejenis itu dibuat, maka orang mulai malas untuk membelinya. Ngapain coba?
Mending nyari di google deh.
Oke. Berarti ada dua ya produk biasa yang tiba-tiba booming
meski isinya biasa saja dan tidak ada istimewanya. Pertanyaannya sama, kenapa
mereka berdua bisa begitu “best seller”?
Jawabannya, karena pemasarannya yang oke banget. Pengecualian untuk lagu Ayu Ting
Ting ya, karena menurut saya sih, seharusnya Ayu Ting Ting tuh berterima kasih
kepada Sule OVJ karena dialah yang sering banget menyanyikan lagu Ayu Ting Ting
untuk bahan banyolannya di OVJ. Penggemar OVJ jadi hapal secuplik syairnya yang
“kemana.. kemana..kemana”, lalu mencarinya di google dan itu membawa video klip
yang super duper biasanya Ayu Ting Ting mulai diunggah orang. Ringtonenya juga.
Baik itu karena orang memang suka atau untuk seru-seruan bersama teman.
Tapi tetep sih, efek persuasi (ajakan) baik yang disengaja
melalui iklan dan pemasaran yang baik, maupun yang tidak sengaja (seperti kasus
lagu Alamat Palsunya Ayu Ting Ting) memang bisa membuat sebuah produk dikenal
oleh orang banyak dan mendorong orang untuk mendapatkannya. Dalam hal ini,
resensi bisa dimasukkan sebagai sebuah cara untuk memasarkan sebuah buku atau
film.
Loh? Kok tiba-tiba jadi ngomongin resensi? Hehehe... Tulisan ini memang ingin membicarakan tentang
resensi kok. Baik diakui atau tidak sebuah resensi yang baik adalah sebuah cara
lain dari pemasaran produk buku/film/lagu. Ada banyak orang yang berusaha untuk
mendapatkan sebuah buku, atau lagu, atau film, karena sebuah rekomendasi yang
dia percaya, yaitu resensi orang yang pernah mendengar atau melihat atau
membacanya.
Nah, jika kamu pernah membaca hasil sebuah resensi,
sebenarnya kamu juga bisa membuat resensi. Ada banyak kok gunanya kalau kita
bisa membuat resensi. Yang utama, tentu saja jika resensi itu baik, maka bisa
mendatangkan materi yang lumayan. Lomba-lomba membuat resensi yang
diselenggarakan oleh para penerbitan buku, sering menyediakan hadiah yang cukup
banyak, hingga jutaan rupiah malah. Beberapa media massa juga memberi ruang
khusus untuk sebuah resensi. Dan sebagai penulis, kemampuan ini juga bisa
menambah daftar pengalaman menulis jika suatu hari kita ingin mengajukan
lamaran untuk bekerja di media cetak/internet. Oh ya, jika kalian berhasil
mengirimkan hasil resensi buku ke media massa dan dimuat oleh media tersebut,
jangan lupa untk menggunting hasilnya, buat klippingnya, lalu kirim ke penerbit
yang mengeluarkan buku tersebut. Biasanya, penerbit akan membalas kiriman kita
dengan mengirimkan imbalan berupa beberapa buku gratis terbitan penerbit
tersebut. Mengapa penerbit bisa seroyal ini? Karena sebuah resensi adalah
sebuah alternatif lain dari pemasaran. Jadi, dalam hal ini, sebuah resensi
adalah baju lain dari iklan. Nah, bisa jadi juga, jika kita sering melakukan
kerjasama dengan penerbit tersebut dan mereka suka dengan gaya menulis kita,
mungkin mereka suatu hari akan meminta tulisan kita yang bukan dalam bentuk
resensi alias.. menjadi salah satu penulis mereka. Cihuy kan?
Apa syarat untuk bisa membuat resensi:
Sudah pernah membaca buku atau menonton film yang akan
diresensi. (duh, ini kudu banget ya, jangan cuma pernah membaca cuplikannya
saja, atau sebagian isi sample bukunya saja ya. Atau menulis resensi film hanya
berdasarkan menonton sample scene film ini saja. Dulu, saya pernah membaca
seseorang yang diminta untuk mengembalikan materi yang dia dapat dari media
tempat dia mengirimkan resensi karena ternyata ketahuan dia menulis resensi itu
hanya berdasarkan selentingan saja. Jadi, copy sana copy sini, lalu ditulis
ulang. Penulis ini langsung dimasukkan dalam daftar hitam di jaringan media
ini).
Mencoba bersifat obyektif. Suka dengan penulisnya lalu ingin
mendukung hasil kerja dia dengan membuat resensi tentang buku yang dia tulis?
Boleh. Atau suka dengan artis tertentu dan ingin mengajak banyak orang agar
menyaksikan film terbarunya lewat sebuah resensi? Itu juga boleh. Atau, justru
yang terjadi sebaliknya. Kalian amat benci seorang penulis dan tidak ingin buku
yang ditulisnya laku di pasaran atau amat kesal dengan seorang artis dan tidak
ingin film yang dia bintangi laku di pasaran, lalu kalian membuat resensi
tentang itu. Itu juga boleh (meski lebih baik jangan mengingat masyarakat kita
adalah masyarakat yang “aneh”, dimana justru sesuatu yang semakin ditindas
karena bersifat anomali, malah akan semakin dibela alias bakal terkenal dan
justru disanjung). Jadi, judulnya boleh-boleh saja asalkan ditulis dengan cara
yang objektif.
Bagaimana caranya bersifat objektif? Yaitu dengan
menyampaikan pendapat kita mengenai film atau buku itu tanpa terpengaruh dengan
nama besar si pengarang, penerbit, atau tanpa terpengaruh nama besar pemain
film, nama produsernya atau nama sutradara atau penulis skenarionya. Semua
pembaca akan menyiaki resensi yang bersifat jujur.
3. Menambah wawasan/pengetahuan
Hampir semua karya seni atau karya ilmiah, sesungguhnya
adalah pengulangan dari apa yang sudah pernah diulas sebelumnya dalam karya
serupa. Hanya saja, karena gaya seseorang dalam menulis itu berbeda-beda, dan
sudut pandang tiap-tiap orang dalam melihat lalu menceritakan kembali sesuatu
itu sifatnya unik pada tiap-tiap orang, maka bisa jadi masyarakat yang membaca
atau menikmati sebuah karya seni atau karya ilmiah tidak keberatan untuk
kembali menikmati atau mempelajarinya lagi. Itu sebabnya, kalau dipikir-pikir,
kisah roman seperti perjodohannya Siti Nurbaya, atau kisah cinta yang sulit
terwujud model romeo dan juliet, atau kisah cinta yang tragis model Qais dan
Laila, selalu terulang dalam berbagai macam versi dan berbagai macam variasi.
Itu sebabnya, ada baiknya seorang peresensi itu menambah wawasan dan
pengetahuan seputar buku atau film yang akan diresensi. Karena wawasan dan
pengetahuan yang mendukung ulasan dalam resensi tersebut akan mendukung resensi
yang kita buat. Orang akan yakin bahwa kita memang mengikuti buku itu, atau
menonton film itu, dan memberi pandangan yang benar-benar objektif dalam
memberikan penilaian.
4. Pergunakan
kalimat yang jelas dalam meletakkan penilaian.
Berbeda dengan cerpen atau essay, pada umumnya sebuah
resensi dibatasi oleh hanya sedikit saja. Biasanya sih maksimal 1500 karakter
atau maksimal 4 halaman A4. Karena dibatasi oleh ruang yang tidak terlalu
banyak maka usahakan untuk menggunakan ruang yang terbatas ini seefektif
mungkin. Hindari untuk menggunakan kalimat yang ambigu atau memiliki makna
ganda. Karena pembaca jadi tidak jelas sebenarnya pesan apa yang akan kamu
sampaikan dari resensi itu? Lebih baik baca atau nonton atau lebih baik jangan membacanya atau menontonnya?
Nah, sekarang tiba saatnya kita menulis sebuah resensi.
Sebuah resensi harus memuat:
1. Data buku atau identitas buku. Yaitu:
Judul buku atau judul film.
Penulis atau pengarang (jika ini film maka tulis siapa nama
para pemainnya)
Nama penerbit (jika ini film maka tulis siapa nama sutradara
dan produsernya)
Cetakan dan tahun terbit (jika ini film maka sebutkan tahun
film ini terbit dan jika ini film yang berseri maka sebutkan seri ke berapa)
Tebal buku dan jumlah halaman (jika film maka bisa
disebutkan durasi film tersebut)
Judul resensi (karena sebuah resensi sering diperlakukan
seperti halnya sebuah artikel khusus, maka berilah judul pada resensi kita
sebagaimana kita memberi judul pada sebuah artikel non fiksi).
Ikhtisar dari isi
buku atau film.
Ikhtisar adalah bentuk singkat dari suatu karangan atau film
(mungkin biasa disebut rangkuman ya). Tapi yang harus diperhatikan adalah
ikhtisar itu berbeda dengan ringkasan yang disusun sesuai dengan urutan isi
buku atau isi film. Jadi, kita boleh menuliskannya tidak berurutan dari awal
hingga akhir. Dan satu lagi bedanya dengan ringkasan, etikanya, sebuah resensi
itu tidak boleh menceritakan seluruh isi buku atau film hingga pembaca sudah
merasa menyelesaikan menyaksikan buku atau film tersebut. Hmm, dipikir-pikir,
jika kita sudah tahu semuanya, ngapain juga kita nonton itu film kan? Jadi,
menulis resensi memang membutuhkan kesabaran tersendiri dan juga seni menulis
ulang tersendiri. Mengapa? Karena meski kita sudah tahu seluruh isi buku atau
film tersebut, kita tetap tidak boleh mengumbar pengetahuan kita itu kepada
orang karena ada hak-hak orang lain yang belum membaca atau menonton buku atau
film yang kita resensi tersebut yang harus terus kita jaga. Yaitu, mereka ingin
kita menyimpan bagian yang seru karena mereka ingin melihatnya sendiri.
Jadi, apa dong yang ditulis di ikhtisar itu?
Gambaran umum ceritanya (ingat, jangan menulis bagian seru
dari isi buku atau film itu secara detail), maksud dari cerita tersebut
(sebenarnya film atua buku itu mau
menyampaikan apa sih?), dan sudut pandang pengarang atau sutradara itu seperti
apa?
2. Membuat gagasan
pokok dan isi pokok setiap bab. Pada film maka kita membuat gagasan pokok dari
tiap-tiap babak yang ada dalam film tersebut.
Kita juga bisa menulis kalimat-kalimat menarik (baik yang
menurut kita layak dijadikan quotes, atau kalimat unik yang menurut kita
merupakan keistimewaan dari tulisan tersebut. Buatlah kutipannya, lalu
cantumkan berada di halaman berapa di buku tersebut atau berada di menit ke
berapa atau scene ke berapa adegan berkesan itu terdapat. Dan sebutkan alasan
kenapa menurut kita itu sesuatu yang menarik).
3. Menulis kembali
gagasan yang kita peroleh dalam bentuk karangan singkat, dengan gaya menulis
khas kita sendiri.
4. Menulis kelebihan dan kekurangan buku atau film tersebut.
Hendaknya ulasan tentang kelebihan dan kekurangan buku tersebut dibuat
se-objektif mungkin. Boleh juga menambahkan sumber-sumber lain yang menjadi
fakta yang mengemuka sekitar buku atau film tersebut. Seperti Kenapa Amitha
Bachan langsung menyatakan protes ketika film Slumdog Milionaire diputar di
India. Atau berapa banyak piala kemenangan yang direbut oleh film Sang Pencerah
tapi ternyata di FFI malah sama sekali tidak dimenangkan. Atau mengapa penulis
novel Ayat-Ayat Cinta malah kecewa dengan film Ayat-Ayat Cinta. Informasi ini
bisa mendukung pendapat objektif kita dalam menulis penilaian.
5. Kesimpulan.
Peresensi harus mengemukakan apa yang diperolehnya setelah membaca buku
tersebut atau setelah menonton film tersebut dan imbauan kepada pembaca.
Sebaiknya membaca buku atau menonton film itu atau sebaiknya malah jangan
membaca buku atau menonton film tersebut. Di bagian terakhir sekali, jangan
lupa mencantumkan nama kita sebagai pembuat resensi tersebut, diikuti oleh
pekerjaan kita.
-----------------------------------------------
Berikut ini adalah beberapa contoh hasil resensi yang
mungkin bisa dijadikan contoh untuk kita menulis sebuah resensi:
Dimuat di Koran Jakarta, Minggu (25/9)
Judul Buku : Lampuki
Pengarang : Arafat Nur
Penerbit : Serambi Ilmu Semesta
Cet I : Mei 2011.
Tebal : 433 hal
ISBN : 978-979-024-354-5
Harga : Rp. 49.000
Novel ini merupakan satu dari empat pemenang sayembara Dewan
Kesenian Jakarta (DKJ) edisi 2010. Sayang sekali, pertama dalam sejarah, DKJ
tidak memilih yang terbaik dan membiarkan para nominator menjadi "empat
terbaik" (Lampuki, Arafat Nur; Persiden, (alm) Wisran Hadi; Memoar
Alang-alang, Hendri Teja ; Jati Saba, Ramayda Akmal). Novel ini juga berhasil
bersaing dari 277 naskah yang masuk pada tahun itu.
Lampuki ini sendiri merupakan sebuah novel konflik.
Penulisnya seorang wartawan yang juga pernah berada dalam pusaran konflik dan
menjadi korban. Lampuki dalam novel ini merupakan deskripsi sebuah kampung yang
berada tak jauh dari kota Lamlhok.
Tentu saja di peta tak pernah ada wilayah ini. Namun dari
narasi kita sudah bisa menduga bahwa kampung dan kota yang dimaksud adalah
salah satu kampung di daerah Lhokseumawe. Kisah ini adalah bagian dari
pengembangan imajinasi penulis atas problem sosial yang muncul di lingkungan
tempat tinggalnya yang "rusak" oleh konflik.
Konflik bukan saja telah membangun rasa sakit dan duka bagi
masyarakat, tapi juga membentuk "tabiat-tabiat jahat" dan anomali
sosial. "Begitu terkutuknya kampung busuk ini. Mereka selalu saja
menghalangi pendatang dari kaumnya sendiri, tapi tak kuasa menolak militer,
yang dianggap musuh nyata, membangun kompleks perumahan pegawai
pemerintah..."(hal. 71).
Yang menjadi potensi besar dalam novel ini adalah tidak ada
proses narasi yang menyebutkan sisi protagonisme dan antagonisme terbelah
secara nyata. Penulis menyadari bahwa dalam diri manusia, memakai ungkapan HB
Jassin, tidak ada iblis dan malaikat seratus persen. Konflik militer yang
terjadi di Aceh juga tidak menyebabkan masyarakat korban dan para kelompok
pemberontak sebagai sosok ideal nan terpuji. Penulis mengambarkan sosok Ahmadi,
tokoh utama yang merupakan kepala pembangkang, bukan sosok protagonis yang
membuat pembaca tersentuh. Ia digambarkan sebagai tokoh yang lebih ditakuti
dibanding dihormati oleh masyarakat kampungnya. Ia bahkan dianggap benalu yang
menyusahkan karena menyebabkan militer sering merazia kampung mereka. Para
pemberontak pun digambarkan dengan penuh satir: para pemberani di belakang
meja, tapi langsung terbirit-birit ketika ada sepasukan tentara menyergap (hal.
84).
Sejak awal Lampuki tidak diarahkan untuk mewakili semangat
feminisme. Tokoh-tokoh perempuan yang digambarkan penuh dengan predikat haus
seks, mantan pelacur, cerewet, perayu, dan juga tukang tadah pajak nanggroe.
Jelas di sini sang penulis tidak mau membangun eufemisme sosial yang
berbasiskan empati gender karena bisa merusak cerita. Namun ada pesan yang
lebih dalam dibandingkan itu, yaitu konflik bukan hanya membangun antropologi
derita tapi merusak tata-nilai, bahkan jauh setelah kekerasan tidak terjadi
lagi.
Di tengah konflik pun ada banyak keputus-asaan yang
menyebabkan dusta bisa mengambil peran. "Halimah juga sempat membual,
mengkhayalkan negeri menyenangkan yang bagaikan surga...Tak ada lagi rumah
rakyat yang bertepas dan beratap daun nipah. Semua pekerja kasar didatangkan
dari negeri pulau yang besar dan miskin. Sungguh bualan yang menggugah dan tak
masuk akal" (hal. 148).
Sisi terpenting lain dari novel ini adalah kerapian bahasa
dan diksi yang digunakan. Terlihat penulis sangat hati-hati dalam menyusun
kalimat, sehingga tidak terjebak pada jurnalistisme empatik atau tegelincir ke
dalam bahasa pop yang dangkal dan tidak berakar dari bahasa Melayu otentik.
#Peresensi adalah Teuku Kemal Fasya, Kurator Sastra Lokal.
Dan ini adalah pemenang pertama lomba resensi buku 7
keajaiban rezeki yang berhadiah jutaan rupiah bulan agustus lalu..
Kedahsyatan Dunia Kanan - Resensi Buku 7 Keajaiban Rezeki
Judul buku : 7 Keajaiban Rejeki
Pengarang
: Ippho ‘right’ Santosa
Penerbit :
PT.Elex Media Komputindo
Tahun terbit
: 2010
Harga :
Rp.84.800
Sedekah dengan brutal!
Tolak kemiskinan dengan gahar!
Kita telah dilahirkan untuk menjadi pemenang bukan pecundang!
Ketika anda memutuskan untuk membaca buku ini, maka seketika
itu juga, anda akan berpetualang di
dunia dimana semua hal menjadi mungkin. Ippho ‘right’ Santosa atau yang akrab
dipanggil Mr.Right akan menjabarkan keajaiban mengenai hal-hal yang selama ini
kita anggap IMPOSSIBLE.
Pendapatan naik 300%? MUNGKIN. Rezeki datang secara
melimpah? MUNGKIN. Omset naik hingga 1000%? MUNGKIN. Memenangkan persaingan
yang nyaris tidak mungkin dimenangkan? MUNGKIN.
Segera buka halaman per halaman dari buku ini, dan temukan
keajaiban-keajaiban yang akan menjadi nyata saat anda memutuskan untuk membaca
dan menerapkannya dalam kehidupan anda.
7 Keajaiban Rejeki akan menguraikan banyak anggapan yang
mungkin belum kita ketahui selama ini dalam
192 halaman, dengan sampul tebal
berwarna coklat tua bergambarkan seseorang yang sedang mengendarai unta.
Enterpreuner kelahiran 1977 ini mencoba membandingkan 80% orang di dunia yang
ber’kiblat’ ke otak kiri dan mereka, 20% orang di dunia ini yang ber’kiblat’ ke
otak kanan. Buku ini mengangkat tema mengenai kedasyatan otak kanan yang sedang
hangat-hangatnya diperbincangkan di dunia. Mungkin kita masih sangat ingat
bagaimana The secret dan The power menggemparkan dunia, lalu mengubah hidup
berjuta-juta orang setelah membacanya. Atau fenomena Cashflow Quadrant yang
hadir sebagai fenomena yang serupa.
Namun, 7 Keajaiban Rezeki hadir dengan nuansa yang berbeda.
Mungkin beberapa dari kita yang sering membaca buku motivasi tahu bedanya.
Kebanyakan buku motivasi hadir dengan bahasa ‘dewa’ , bahasa tingkat tinggi
yang tidak semua pihak dapat mencernanya. Berbeda dengan 7 Keajaiban Rezeki
yang hadir dengan bahasa ‘masyarakat’, yang sederhana namun mengena. Inti
pemikiran Ippho Santosa yang tertuang dalam buku 7 Keajaiban Rezeki memang
bersumber pada Al-qur’an, hadist yang merupakan pegangan salah satu keyakinan,
yakni islam yang sangat kental di buku ini, namun hal ini tidak menjadi
penghambat bagi yang memiliki kepercayaan lain, karena di buku ini pula
dijelaskan dengan sangat jelas bahwa
berbeda, memiliki, ataupun tidak memiliki kepercayaan sekali pun,
kekuatan dari memberi (sedekah) tetap saja akan berbalas. Tidak sedikit pendeta
atau mereka yang berbeda agama dengan pengarang buku ini sukses menerapkan 7
Keajaiban Rezeki dalam kehidupan mereka. Sekali lagi, 7 Kejaiban Rezeki tidak
mengenal umur, agama, suku, ras, warna kulit atau apa pun juga. Pengarang juga
mampu menjabarkan pemikirannya dengan bahasa yang lugas, jelas, dan tegas
sehingga tidak terkesan bertele-tele.
7 Keajaiban Rezeki juga menyajikan cara untuk mendapatkan
kekayaan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya. Dengan berani, 7 Keajaiban
Rezeki memaparkan keberhasilan mereka yang sukses dengan memanfaatkan petuah
yang tertuang disana, terbukti dengan
pengalaman-pengalaman narasumber atau testimoni-testimoni yang membuat buku ini begitu nyata
khasiatnya. Tidak hanya itu, keajaiban yang dirasakan oleh mereka yang berhasil
melalui otak kanan, juga akan menyapa anda secara audio melalui CD motivasi
yang menjadi bonus pada buku ini. Ditambah lagi dengan beberapa lagu-lagu
membakar semangat yang juga tersaji di dalam CD motivasi.
Beberapa kali kita akan tergelitik dengan humor yang
disajikan hampir di tiap bagiannya, sehingga jauh dari kesan membosankan, dan
hanya di buku ini, penulis berbaik hati untuk tidak mengharuskan orang agar
membeli bukunya tapi malah menganjurkan untuk meminjamkan kepada orang lain dan
membagi manfaatnya.
Namun tak ada gading yang tak retak. Pun begitu 7 Keajaiban
Rejeki. Mungkin pada awalnya, ketika kita tidak mengetahui betapa luar biasanya
buku ini, atau sebelum ada rekor MURI yang tertambat disana, atau sebelum ada
cap megabestseller yang terpampang pada
covernya, buku ini terkesan biasa-biasa saja. Dari judulnya pun tidak ada rasa
ingin tahu yang berhasrat ketika melihatnya. 7 Keajaiban Rejeki? Oh paling
buku-buku islami biasa. Tidak ada daya tarik dan greget untuk membacanya.
Sebelum kita mengetahui kedahsyatan buku ini, kita pasti juga akan menggeleng
melihat harganya yang tidak terhitung murah untuk buku islami biasa.
Mungkin pengarang ingin mengajarkan kita “don’t judge the
book by its cover and its price”
Sungguh! Harga ini tidak akan ada apa-apanya dibandingkan
dengan seajaib-ajaibnya keajaiban yang hadir di hidup kita ketika kita tuntas
dan menerapkannya dalam kehidupan kita. Bahkan kita juga bisa berkonsultasi
GRATIS langsung dengan sang penulis, Ippho Santosa atau dengan beberapa
narasumber lain.
Jika anda berniat membaca buku ini, jangan ditunda lagi.
Tapi ingat satu hal, jika anda memiliki penyakit jantung maka persiapkan dokter
spesialis disebelah anda, karena 7 Keajaiban Rezeki akan membuat anda terkejut
mendadak, lalu menampar kemiskinan anda
habis-habisan, menghajar anda dengan kebenaran yang luar biasa, menyindir
keburukan anda sejelas-jelasnya dan merubah hidup anda sedahsyat-dashyatnya!!!!
---------------------------------------
Terakhir, sebuah
resensi yang dimuat di koran Radar Jogja :
Radar Jogja ,Kamis 14 januari 2010
“Karya Cantik Penulis Cantik “
Membuat antologi
cerpen, sepertinya sedang digemari penulis sekarang ini. As Tears Dry Out,
kumpulan cerpen Nuthayla Anwar sepintas terlihat sama dengan buku lain. 12
cerita dengan berbagai variasi tema cinta. Bedanya, buku ini ditulis dengan
diksi yang cukup indah, cantik, dan tertata baik.
12 cerita di novel ini dibawakan dengan cantik. Untuk ini,
pasti butuh waktu tidak sebentar. Akbar Ilham, Ratih Fitria Ningrum, Riki
Choyrol Huda, Ramadhan Syafitri, dan Meiliani Mahera Maharani masing-masing
punya pendapat berbeda tentang karya ini.
“Menurutku, buku ini adalah buku cerita yang indah.
Maksudnya, diksi dipilih dengan cermat. Sehingga tidak hanya enak dibaca, tapi
juga bisa menimbulkan kesan yang dalam,” kata Ratih Fitria Ningrum atau Ratih.
Karya cantik penulis yang namanya belum begitu dikenal,
Nuthayla Anwar, dikemas dalam kualitas yang lumayan. Kualitas kertasnya bagus,
dengan banyak halaman warna di dalamnya. “Kover cukup unik. Meski menurut saya,
kok agak tidak sesuai sama ceritanya ya? terlalu ceria kesannya. Padahal isinya
kebanyakan cerita mellow,” sambung Ramadhan Syafitri atau Dani.
Kover buku yang berwarna-warni dan berkesan “kartun banget”
memang sedikit kurang cocok dengan isi buku. Bukan apa-apa, bukunya sendiri
lebih cocok masuk kategori buku romantis, bukan lucu.
“Membaca isinya lebih baik lagi. Awalnya aku kira ini buku
untuk anak kecil. Tapi ternyata bukan. Dan isinya surprisingly good. Meski
penulis pemula, Nuthayla jelas sudah menunjukkan kesukaan dalam menulis sejak
lama,” kata Meiliani Mahera Maharani atau Lia.
Rani berkata buku ini cocok dibaca perempuan dan laki-laki.
“Unik dan tidak hanya memperlihatkan kemampuan perempuan saja kok. tapi juga
menarik untuk dilihat dari sisi laki-laki. Kan ada juga cerita yang tokoh
utamanya laki-laki dan sayang sama keluarga tapi tidak sadar sudah menyakiti,”
tuturnya.
Riki menuturkan, berbagai karakter perempuan di sini
sebenarnya agak monoton. Tapi pembawaan cerita yang bagus membuat cerita yang
nyaris sama menjadi berbeda. “Misalnya tentang istri yang dijahati suami. Ada
beberapa cerita yang settingnya begitu. Akan membosankan kalau dia tidak pintar
memadu padankan diksi. Untungnya ceritanya tetap menarik,” ujarnya. (luf)
Untuk buku yang sama di atas, perhatikan hasil resensi yang
berbeda di koran yang berbeda:
Resensi
As Tears Dry Out:
Sabtu, 06 Februari 2010 20:39
“Menguak Kisah dalam Makanan “
Judul : As Tears Dry Out
Penulis : Nuthayla Anwar
Penerbit : Fayla Production
Tebal : 244 halaman
Terbit : November 2009
Peresensi : Anita Rachmad*
Barangkali, baru buku kumpulan cerpen berjudul As Tears Dry
Out (hingga air mata mongering) saja yang muncul dengan packaging yang unik dan
menarik minat membaca. Tidak seperti kumpulan cerpen pada umumnya yang hanya
berisi cerpen dan mungkin tambahan kata pengantar dan penutup, kumpulan cerpen
milik Nuthayla Anwar ini juga menambahkan 17 resep masakan dan kudapan.
Ide yang sangat orisinil. Sesuai judulnya, buku yang berisi
12 cerpen itu membawa pembaca pada kisah-kisah yang ringan dan tak perlu
mengerutkan jidat untuk mencerna pesan/makna yang tersirat. Kisah yang mengharu
biru dan memunculkan rasa istimewa dalam sanubari.
Semua begitu jelas dan runut. Kisah sederhana dan membumi.
Saya yakin setiap pembaca pasti mengalami atau setidaknya pernah melihat atau
merasakan kisah itu. Kalau saya bilang, hampir semua kisah dalam kumpulan
cerpen ini ‘perempuan’ banget. Kisah yang bertutur dari hati dan sudut pandang
perempuan karena memang penulisnya perempuan.
Namun demikian, dari kisah sederhana dan akrab dengan
keseharian itu, mampu menghadirkan kejutan-kejutan yang kadang ironis dan
menggelitik. Seperti dalam kisah Chatting. Aktifitas yang sangat akrab bagi
sebagian orang yang rajin beranjangsana di dunia maya. Pasangan suami istri
yang mulai kehilangan orientasi kehidupan berkeluarga lalu menjadikan chatting
di internet sebagai katarsis hingga menciptakan ketergantungan dan rasa cinta
semu.
Namun siapa sangka, pasangan itu saling jatuh cinta dalam
identitas yang berbeda dan baru. Maka kopi darat dan pertemuan kencan itu
mengakhiri identitas masing-masing yang nyatanya selama ini sudah hidup satu
atap. Ironis dan menggelitik.
Atau pembaca akan diberi kejutan saat membaca Pavilliun.
Kisah seorang istri di dalam sangkar emas dan tak dianggap oleh suaminya. Siapa
yang mengira, di balik sifat sejuta kebaikan pada diri seorang istri, ibu dan
perempuan kesabarannya pun terbatas. Dengan ikhlas dan gembira, ia meracun
suaminya hingga tewas demi ‘menyelematkannya’ dari dosa lebih besar karena
bisnis narkoba dan bermain perempuan.
Lalu kita juga akan dibawa terpesona dengan kepintaran
Nuthayla dengan dua kisah personifikasi pada cerpen 69 dan Ketika Sepatu
Berkisah. Bagaimana seekor anjing dan sepatu diperlakukan sebagai manusia.
Benar-benar memanusiakan benda mati dan anjing. Kisah ini memberi gambaran,
betapa hewan dan benda mati yang setiap hari berkeliaran dan dekat dengan kita
sebenarnya adalah anggota keluarga yang harus diperlakukan seperti manusia.
Dia, sepatu dan anjing itu, mampu merasa dan merekam setiap
detik kejadian yang ‘didengar dan dilihat’. Bagaimana sepatu merasa bagitu
jijik dan geregetan melihat istri tuannya, bermulut nyinyir karena suaminya (si
tuan) tak mampu memberi kehidupan seperti yang diinginkan istrinya. Sang sepatu
pula yang menjadi teman serta saksi terakhir saat tuannya meninggal di tangga
escalator usai membeli daftar belanja masakan istrinya yang nyinyir di rumah.
Lalu si anjing, betapa sempurnanya kisah ini diurai
Nuthayla. Hewan ini memanggil Mama bagi perempuan yang merawatnya. Betapa itu
menggambarkan pola kedekatan hubungan dan interaksi antara hewan dan manusia
dalam keseharian.
Selebihnya, kisah-kisah yang dihadirkan dalam kumpulan
cerpen ini adalah kisah sederhana dengan plot yang datar dan biasa. Kisah yang
mengeksplorasi sisi kemanusiaan baik dari sudut pandang laki-laki dan
perempuan. Kisah dari satu ruang ke ruang lain dan dari satu adegan pindah ke
adegan lainnya.(*)
Nature vs Nurture
Memasak. Aktifitas yang secara nature sudah didedikasikan
sebagai pekerjaan perempuan ini makin ditasbihkan penulisnya dalam semua
cerpennya. Resep masakan yang tertulis di akhir kisah atau nama masakan yang
ditulis dalam cerpen-cerpennya, menunjukkan bahwa itu adalah hasil olahan
tangan perempuan.
Seolah itu menunjukkan betapa dekatnya hubungan perempuan
dengan dapur dan makanan. Betapa dapur dan makanan bisa menjadi surga kecil
bagi perempuan dalam kehidupan nyata. Betapa dapur dan perempuan merupakan
salah satu property penting kehidupan perempuan.
Di sana air mata mengalir dan tumpah. Di sana dia bisa bebas
mencincang daging derita hatinya, mengiris bawang kepedihan hidup dan mencuci
sayur kehampaan. Betapa sebuah makanan bagi perempuan juga menjadi perlambang
nostalgia dan menjadi monument dari lintasan waktu dan peristiwa.
Namun secara nurture, perempuan juga bisa memberontak
menjadi makhluk yang tak terkendali akibat tekanan lingkungan dan kultur
sekitarnya. Ia bisa membunuh dan berbuat di luar logika sebagai mahluk yang
dicap lemah dan lembut.
Begitu pula nurture untuk laki-laki. Yang pada pergantian
massa, akibat tekanan sosial dan mungkin hegemoni kekuasaan di sektor domestik
atau tidak, bisa merubah perilaku bawaannya atau nature.
Namun sepertinya penulisnya memahami, bahwa tidak hanya
perempuan saja yang dicap makhluk lemah dan lembut. Dalam empat cerpennya,
sebagai ‘aku’ laki-laki juga ditunjukkan kisah laki-laki dengan segala
kelemahan dan kekuatannya. Juga ada air mata dan putus asa.
Sebuah opisisi biner yang memukai dan sempurna. Ada pasangan
dengan suami bak iblis ada pula pasangan dengan istri bak setan. Ya, karena
hidup selalu memiliki dan menyimpan pertentangan yang tak akan pernah tahu
kapan akan terungkap dan berakhir.
Terakhir, saya mengira judul yang tertulis di sampul buku
kumpulan cerpen ini adalah salah satu judul cerpen yang ditulis. Namun setelah
saya bolak balik, tak saya temukan judul cerpen As Tears Dry Out. Hmm….rupanya
judul itu menjadi wali bagi 12 kisah sederhana yang membekas ini.(*)
*Wartawan tinggal di Malang
mbak ade aye keep posting ini ye tenkyu
BalasHapusiya silahkan
Hapusmantep banget mba tips2nya..
BalasHapusmakasih ya :)