Senin, 28 Oktober 2013

Resensi Novel Yang Tersimpan di Sudut Hati oleh Linda

Novel baruku, "yang tersimpan di sudut hati" diresensi oleh Linda Satibi (biasa dikenal dengan nama Mamah Ghulam itu Linda). Senang deh bacanya. Nah, ini dia ulasan resensi cantik tersebut (Linda ini, punya cir khas tersendiri dalam tutur bahasanya. Tutur bahasa yang dia gunakan selalu lembut, hati-hati dan keibuan sekali. Jadi, membacanya akan membuat kita merasa tenang dan damai).



Cermin Kala Badai Menerpa

26 October 2013 at 08:52
Judul                            : Yang Tersimpan di Sudut Hati
Penulis                         : Ade Anita
Penerbit                       : Quanta, imprint dari PT Elex Media Komputindo
Terbit                          : Cetakan I, Oktober, 2013
Jumlah Halaman          : xiv + 440 hlm
ISBN                           : 978-602-02-2112-0

Kadar ujian dan cobaan yang menimpa seseorang tidaklah sama. Semua telah terukur oleh Sang Penggenggam Kehidupan. Tidak mungkin tertukar. Namun kala ujian atau cobaan itu terasa demikian berat dipikul, tidak jarang tebersit dalam benak bahwa diri adalah orang yang paling malang di dunia. Serasa menanggung beban masalah yang paling menyesakkan.

Novel “Yang Tersimpan di Sudut Hati” karya Ade Anita, memperlihatkan betapa ada orang lain yang mengalami ujian demikian berat. Betapa tidak? Solasfiana, sang tokoh utama, hidup miskin bersama ayahnya yang memiliki fisik kurang sempurna. Sang ayah, sebelah matanya buta sejak lahir dan kakinya timpang karena kecil sebelah. Sementara ibunya, Mak Pinah, lumpuh kedua kakinya pasca melahirkan si bungsu yang kembar. Dengan segala keterbatasan itu, mereka harus puas ditempatkan pada bagian rumah paling belakang dari rumah panggung yang besar yang menampung beberapa keluarga, bersanak saudara.

Cobaan bertubi-tubi menimpa. Kematian ayahnya yang tiba-tiba sangat memilukan, membuat bingung bagaimana hidup selanjutnya dengan hanya seorang ibu yang lumpuh. Tak lama, kakeknya pun meninggal, lalu disusul beruntun kematian tetangga sekitar yang diwarnai isu tentang bola api yang merupakan bagian dari praktik santet. Malangnya keluarga Solasfiana, mereka dituduh sebagai pelaku santet tersebut, hingga akhirnya diusir dari kampung. Keluarga besarnya tak mampu membela.

Keluarga Solasfiana gontai meninggalkan dusun, meninggalkan segenap kenangan tentangnya. Dan yang memerihkan adalah Solasfiana harus meninggalkan pula cintanya yang baru bersemi kepada Sofyan, dan meninggalkan pohon bungur besar tempat Sofyan mengungkapkan sayangnya.

Mereka terlunta, berjalan demikian jauh, dengan bekal seadanya. Tiada arah yang dituju, dengan menahan segala letih, lapar, dan perasaan sedih tak terkata.

Bagaimana lika-liku perjalanan mereka? Akankah perjuangan mereka masih dihantam badai lain? Adakah setitik madu yang membuat mereka mengecap manisnya hidup? Lalu, bagaimana akhir kisah cinta Solasfiana dan Sofyan? Masihkah ada harapan untuk bertemu lagi dan merajut kenangan lalu?

Ade Anita berhasil menuturkan kisah getir ini menjadi sebuah kisah yang menginspirasi dan memotivasi. Diawali dari kepedihan hidup keluarga Solasfiana dan posisi mereka dalam keluarga besar. Lalu bergerak ke masa-masa penuh perjuangan. Hingga pencapaian yang mereka dapat. Semua terbungkus dalam alur cerita yang manis dan menyentuh.

Yang paling kuat dalam kisah ini adalah unsur lokalitas yang diusung penulis. Latar Sumatera Selatan dideskripsikan sangat detil. Bagaimana struktur rumah panggung dan lekak-lekuk di dalamnya, seperti apa Sungai Musi yang menjadi denyut masyarakat Palembang, hingga kasur Palembang yang juga beredar di Pulau Jawa. Begitu pun cara yang benar memetik durian, buah khas Sumatera Selatan. Bahkan trik santet yang berlaku di sana pun, dikuasai benar oleh penulis.

Pada penokohan, justru karakter Mak Pinah dan adik Solasfiana, Marsyapati dan Isfahan, yang tampak konsisten. Mak Pinah yang tegar dan mandiri, serta teguh sebagai muslimah yang memegang kuat ajaran Islam, sedang Marsyapati sebagai gadis yang manja dan spontan, lalu Isfahan sebagai lelaki satu-satunya dalam keluarga yang dewasa dan bisa diandalkan. Sementara Solasfiana, yang di awal disebutkan sebagai peragu, namun dalam perjalanannya, kadang ia tampak sebagai peragu, namun kadang sama sekali tidak menunjukkan itu. Apakah ini disebut sebagai pengembangan karakter?

Konflik yang hadir dalam kisah ini, cukup menggigit. Ada ketegangan-ketegangan yang mengasyikkan dan ada kejutan-kejutan tak terduga. Unsur sinetronistik tidak mengemuka.

Terlepas dari segala kelebihan novel ini, ada beberapa hal yang menjadi catatan saya. Pertama, soal nama. Saya tidak mengerti mengapa penulis memilih nama yang hampir-hampir mirip pada ketiga tokoh, yaitu: Solasfiana, Sofyan, Sofi. Saya merasa ini seperti nama anak kembar tiga. Memang mungkin tidak masalah, tapi buat saya, ini nggak asyik. Ternyata eternyata, menurut survey penulis novel ini, memang di daerah sana, nama yang biasa dipakai itu hampir mirip satu sama lain, misal: Hauna, Hasunah, Hasanah, Halimah,.. Lain Ladang Lain Belalang.. :)

Kedua, ada perubahan karakter yang mendadak. Yaitu pada tokoh Wak Hasni. Pada bagian awal, Wak Hasni demikian bencinya pada keluarga Solasfiana, terutama pada Mak Pinah, tapi di bagian tengah tiba-tiba Wak Hasni berempati, memberikan simpati yang dalam pada keluarga Solasfiana.

Ketiga, tentang deskripsi, kedetilan, dan berpanjang kata. As we know, Mbak Ade ini seorang yang ramah dan suka bercerita panjang lebar. Nah, dalam novel ini pun demikian. Pertanyaan saya adalah, sebatas apa ketiga hal di atas bisa diterapkan? Pada beberapa bagian, ketika membaca, saya sempat berpikir, ini sebetulnya mau ceritakan apa? Karena penulis berputar-putar dahulu. Ada juga beberapa yang saya pikir, apakah deskripsi harus sebanyak ini? Misal: penjelasan tentang kasur Palembang.

Akhirul kalam, saya merekomendasikan novel ini untuk teman-teman nikmati. Diksinya, meski bukan yang mendayu menyentuh kalbu, tapi bermakna dalam dan terasa bijaksana. Jangan lupa, sisi romance-nya juga asyik, terutama di bagian ending…mak jleb! Oh ya, ada juga adegan suami istri yang.. hmm.. sepertinya akan membuat lajangers pingin cepet-cepet nikah.. hahaha..

Sukses yaa.. Mbak Ade sayaang… semoga rencana trilogi novel ini bisa mewujud… dengan lanjutan kisah yang tidak berkurang semangat menginspirasinya, dan.. terhindar dari jebakan sinetronistik.. (saya membayangkan, Aulia kemudian jadian sama Fiana.. huhuu.. jangan yaa… itu mah sinetron deeh..)

--------------------
Resensi ini dibuat oleh Linda dan sumber asli resensi ini ada di (http://kalam-cinta-linda.blogspot.com/)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jadi, apa pendapatmu teman?

LinkWithin

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...